Sambutan Mendikbud Anies Baswedan pada
Hari Guru (25/11/2014) menarik disimak. Inilah pidato seorang menteri
yang di dalam dirinya tecermin ”jiwa keguruan”. Sapaannya terhadap guru
pada seluruh teks itu bukan semata-mata karena pidatonya ditulis dalam
kaitan Hari Guru, melainkan di dalamnya terpancar keikhlasan menempatkan
sosok guru di dalam pikiran dan hatinya. ”Kita harus mengubah diri,
kita harus meninggikan dan memuliakan guru. Pemerintah di semua level
harus menempatkan guru dengan sebaik-baiknya dan menunaikan secara
tuntas semua kewajibannya bagi guru,” demikian antara lain Mendikbud.
Ungkapan itu menegaskan bahwa Guru
pada kepemimpinan Baswedan sebagai Mendikbud hendak diposisikan sebagai
pusat dalam dunia pendidikan. Guru akan kembali ditulis dengan G
(kapital) seperti pernah terjadi dalam sejarah, yakni sebagai sosok yang
”digugu dan ditiru” (diteladani), tentu dengan penyesuaian ruang dan
waktu kini. Hari ini, guru yang layak diteladani adalah ia yang memiliki
kapabilitas diri kreatif. Diri kreatif adalah pribadi yang memiliki
keberanian membebaskan pikirannya dari berbagai kungkungan.
Basis kreativitas, sebagaimana disebut
IP Pavlov yang dielaborasi Toeti Heraty (STA, 1983) adalah sebuah
kondisi subyek berani melakukan tindakan restrukturisasi. Berani keluar
dari belenggu konvensi. Mengendalikan sistem, bukan sebaliknya.
Guru sebagai subyek
Ketika guru didudukkan pada posisi
utama, hal-hal di luar guru tentu menjadi nomor dua. Situasi ini dengan
sendirinya juga meniscayakan bahwa pembangunan karakter guru menjadi
yang utama. Jika diyakini bahwa pendidikan yang baik itu membebaskan,
pihak pertama yang harus ”dibebaskan” adalah guru. Tak mungkin siswa
merasa terbebas jika gurunya sendiri terbelenggu. Guru yang terbelenggu
cenderung membelenggu siswa.
Tantangannya, pada saat yang sama
subyek selalu merupakan hasil ”pemanggilan” sistem. Althusser (1984)
menyebut dua apparatus/lembaga pembentuk subyek dalam negara, yakni
repressive state apparatus (RSA) dan ideological state apparatus (ISA).
RSA adalah lembaga yang menginterpelasi subyek secara represif. Ini
persis dilakukan rezim militeristik Orde Baru saat menanamkan
nilai-nilai Pancasila kepada warga. Rakyat dipancasilakan dengan
cara-cara yang justru tak berpancasila. Sementara lembaga seperti rumah
ibadah, media massa, dan sekolah disebut Althusser sebagai lembaga
negara yang memanggil subyek secara persuasif. Lembaga ini bersifat
menggoda, menjadikan individu sebagai si Pulan atau si Palen tanpa
merasa ada yang mengajarkannya.
Berdasarkan teori itu, posisi guru
menjadi kontradiktif. Di satu sisi ia ditempatkan pada lembaga yang
diandaikan bekerja secara persuasif, tetapi pada sisi lain ia sendiri
sosok yang dibentuk oleh sistem yang dengan caranya sendiri bersifat
represif. Dengan demikian, guru menjadi predikat dengan subyek yang
”dibelah” terus-menerus. Di satu sisi ia dituntut menjadi pribadi
berbudi, tetapi pada tepi lain pribadinya diacak-acak oleh sistem tak
berbudi. Guru pun jadi sosok yang ambivalen, terbelah (divided self). Dengan demikian, secara filosofis dan psikologis, guru di negeri ini menjadi metafora dari tragedi subyek kemanusiaan.
Sistem yang tak berbudi sedemikian
faktanya belum berubah sejak awal rezim Orde Baru hingga kini. Bentuk
konkret pelaksanaan sistem ini adalah pemberlakuan kurikulum yang
terlalu jauh mengacak-acak cara berpikir guru. Kurikulum menjadi
penjelmaan negara yang menakutkan. Ia menjadi sebuah ”kontrol disiplin”
yang terus-menerus mengawasi guru. Walhasil, secara filosofis dan
psikologis, guru sesungguhnya tak pernah mengajar dengan subyektivitas
dirinya yang diandaikan sebagai diri yang kreatif. Sistemlah (kurikulum)
yang mengajar. Hal ini belum ditambah dengan kehadiran buku ajar yang
juga diatur sedemikian ketat oleh penguasa.
Kurikulum yang sofistik
Bertolak dari analisis tersebut,
perubahan kurikulum yang selalu dilakukan setiap penggantian menteri
hanya dimungkinkan oleh dua alasan. Pertama, kegagalan tiap menteri-baru
dalam melihat mekanisme kerja sistem. Alih-alih memahami, menteri itu
sendiri menjadi individu yang dikendalikan sistem sehingga ia hanya bisa
melihat lapis permukaan sistem yang akibatnya hanya bisa bekerja secara
administratif. Ia bekerja tanpa modal ideologi.
Kedua, kesengajaan dengan maksud mempertahankan kekuasaan (status quo).
Di situ, perubahan hanyalah pengalihan dengan cara seolah-olah memberi
harapan baru untuk perubahan. Ini adalah sisi lain kezaliman kekuasaan
di hadapan rakyatnya. Di situ, tim perumus kurikulum tidak lain adalah
para sofis. Sofisme, sebagaimana dijelaskan A Setyo Wibowo (Basis, No 11-12/63/2014) adalah cara berpikir dan berargumentasi yang njlimet, canggih, sangat rasional dan pintar, tetapi sebenarnya palsu dan membuat orang bingung.
Harapan baru tapi palsu sedemikian
tampak jelas pada Kurikulum 2013 yang kontroversial itu. Saya tak ingin
menambah ulasan kritis terhadapnya karena sudah terlalu banyak yang
melakukannya, termasuk saya sendiri. Hal yang perlu disampaikan,
kurikulum ini disebut perumusnya sebagai model yang bisa menjawab
tantangan abad ke-21. Namun, ambisi ini sekaligus menempatkan guru
seolah-olah tak tahu masalah abad ke-21 sehingga mereka perlu diberi
petunjuk yang rigid, otaknya perlu diarahkan hingga pada cara-cara meyakini keberadaan Tuhan.
Akibatnya sudah bisa dibaca, ke depan
guru akan kian diatur. Subyek guru akan kian lesap. Hal ini berarti
Kurikulum 2013 akan kian menjauhkan cita-cita Mendikbud sebagaimana
dikutip di awal. Dari sisi substansinya sendiri, sebagaimana dikatakan
Kiai Maman Imanulhaq, kurikulum bertendensi religius itu justru
meninggalkan nilai-nilai religiositas, kecuali jika yang dimaksud
religiositas hanya hal-hal permukaan. Kurikulum 2013, kata pengasuh
Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, yang kini anggota DPR (2014-2019)
itu, mencerminkan nilai religiositas simbolik yang meninggalkan
substansi ajaran agama. Walhasil, Kurikulum 2013 menjadi kurikulum
sofistik, mengelabui.
Posisi Kurikulum 2013 sedemikian
sesungguhnya juga telah melanggar UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Pasal
38 Ayat 1 jelas mengatur bahwa pemerintah hanya menetapkan kerangka
dasar dan struktur kurikulum (Standar Isi), sedangkan kurikulumnya
”dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah” (ayat 2).
Jelas UU itu memosisikan guru sejalan
dengan cita-cita Mendikbud. Di sekolah, guru dijadikan subyek yang
leluasa menyalurkan potensi dan kemampuan kreatifnya. Saat siswa bertemu
dengan subyek guru seperti itu, sekolah niscaya akan jadi miniatur
dunia pembebasan. Jadi, tunggu apa lagi, Pak Menteri. Untuk memosisikan
guru pada kursi utama pendidikan, Anda tinggal melaksanakan UU itu.
Ubahlah posisi guru dengan kebijakan, bukan hanya dengan kata-kata
sebagaimana dilakukan pejabat sebelum Anda. Nasi belum jadi bubur.
Kurikulum 2013 masih bisa dibatalkan. Dengan ini cukup sudah dunia
pendidikan dikelabui penguasa. Ke depan, jangan ada lagi rezim
kurikulum. Maka, mari akhiri Kurikulum 2103 dan mulailah sekolah!
0 komentar:
Post a Comment