Showing posts with label ARTIKEL BERMANFAAT. Show all posts
Showing posts with label ARTIKEL BERMANFAAT. Show all posts

Sunday, 11 January 2015

MELIRIK SEJARAH PENDIDIKAN DI NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF TEORI PENDIDIKAN KRITIS




Tidak ada manusia yang bisa lepas dari kebutuhan pokoknya sebagai keniscayaan proses kontiunitas kehidupannya. Manusia setiap hari selalu dihadapkan pada tantangan untuk mengembangkan diri dalam menacapai kehidupan yang sejahtera. Dalam memenuhi kebutuhan hidupanya semua manusia dituntut untuk bekerja (berproduksi). Diera globalisasi dan modern dewasa ini, manusia dituntut untuk memilikli skill dan kemampuan (capital social) untuk mengoprasikan alat produksi yang telah disediakan dan dikuasai semua oleh kapitalisme. Satu-satunya ruang formal yang diberikan bagi kita untuk mendapatkan skill adalah lembaga pendidikan. Namun apakah sesederhana itu fungsi dari pendidikan kita saat ini?
Secara harfiah, pendidikan berasal dari kata didik, yang berarti  memelihara dan memberi latihan. Pendidikan kemudian biasa didefinisikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik; (Kamus Besar Bahasa Indonesia). pendidikan adalah sebuah proses dialektika manusia untuk mengembangkan kemampuan akal pikirnya, menerapkan ilmu pengetahuan dalam menjawab problem-problem sosial, serta mencari hipotesa-hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Pendidikan merupakan media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, sekaligus instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga intelektual dan praktisi sebagai penopang bagi perkembangan hidup masyarakat.
Pada setiap zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai  serta hubungan-hubungan yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Pendidikan sebagai satu instrumen kebudayaan negara (supra struktur), adalah cerminan dari sebuah hubungan produksi dalam setiap masyarakat. Sedangkan dalam pandangan kita tentang negara bahwa negara adalah alat dari klas berkuasa yang akan terus berkontradiksi dengan klas yang dikuasai. Sehingga pendidikan akan menjadi alat dari klas yang berkuasa untuk menanamkan ide klasnya sekaligus menjadi alat bagi klas berkuasa tersebut untuk menghisap klas yang dikuasai.
Perkembangan pendidikan dinusantara ini tidak bisa dilepaskan dari fase-fase perkembangan masyarakat nusantara. Karena dengan mempelajari sejarah dari perkembangan masyarakat yang ada dinusantara ini kita akan menemukan pisau analisa yang jelas terhadap problematika pendidikan yang terjadi saat ini.
Dalam kajian teori pendidikan kritis meyakini bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Walapun ada beberapa kalangan yang tidak sepakat dengan mazhab ini akan tetapi ketika kita mengakaji sejarang perkembangan pendidiakan dinusantara ini, maka kita akan menemukan keilmiahan dari teori pendidikan kritis.
Pendidikan; dari Feodalime Hingga Kolonialisme di Nusantara
Pada zaman feudalisme Yang tandai dengan kepemilikan atas tanah oleh segilitir orang kemudian malahirkan istilah petani hamba bagi yang tidak memiliki tanah dan tuan tanah bagi yang punya tanah dengan menggukan kerajaan sebagai lembaga tertinggi mereka. Dalam mempertahankan kedudukannya sebagian tuan tanah, mereka kemudian menggunakan kekuatan gereja untuk kemudian mengamini adanya kekuasaan kaum feudal btersebut, dengan jargon “raja adalah utusan Tuhan di muka bumi”. Sehingga melawan raja, sama saja dengan melawan Tuhan. Hingga itu, seluruh rakyat harus tunduk kepada kekuasaan raja.
Pada masa feodalisme ini, pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan bangasawaan (keluarga besar kerajaan), masyarakat kalangan bawah tidak bisa mengaksesnya dikarenakan mereka bukanlah bagian dari keluarga bangasawaan dan mereka juga tidak memilki banyak waktu untuk belajar selayaknya pemuda dari kalangan bangsawan karena mereka setiap harinya harus selalu disibukkan dengan kegiatan produksi untuk memenuhi kepentingan taunnya. Masa ini dikenal juga masa kegelapan (dark age), karena ilmu pengetahuan tidak dibiarkan berkembang. Justru dogma-dogma agama yang melegitimasi kekuasaan raja yang dipertahankan. Salah satunya adalah ketika Gallileo Gallilei menyatakan bumi itu bulat, tetapi kaum gereja menolaknya. Akibatnya, Gallileo Gallilei dihukum mati. Pihak gereja vatikan baru mengakui kesalahan tersebut pada abad 20.
Memasuki abad ke 15 nusantara kedatangan bangsa-bangas asing (protugis). Kedatangan mereka tidak bisa dilepaskan dari perkembangan merkantaisme yang dieropa saat itu. Markentilisme inilah yang kemudian melahirkan benih-benih kolonialisme. Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 15, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.
Masuknya bangsa eropa ke Indonesia yang kemudian mendominasi secara ekonomi dan politik di Nusantara kemudian merubah pola pendidikan di dalam bangsa Indonesia. Pendidikan di nusantara pada saat itu pun sangat di tentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia. Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan. Pendidikan kemudian menjadi barang yang sangat mewah bagi bangsa terjajah. Hanya anak-anak bangsawan pribumi yang bisa mendapatkan pendidikan yang disediakan pemerintah Hindia Belanda. Memang pada saat itu sudah ada pendidikan yang dibuat rakyat Indonesia, namun hanya mengkaji agama.
Kurang lebih 360 tahun nusantara dijajah oleh kolonialisme belanda. Alasan utama kenapa balanda bisa sampai tiga setengah abad menajajah nusantara, tidak lain adalah tidak adanya akases untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakat pribumi secara mayoritas sehingga kesadaran masyarakat pada masa itu sangat terbelakang dan mudah dibodohi. Sebelum meletusnya perang dunia II belanda kemuadian dipukul mundur oleh kekuatan fasisme jepang sehingga keperintahan kelonilisme belanda dinusantara diambil alih oleh pasukan jepang. Lagi-lagi indonesia terjajah oleh bangsa lain. kedatangnya Jepang ke Indonesia membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang . Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat mengikuti kepentingan perang Jepang dalam perang Dunia II.
Pendidikan; Fase Kemerdekaan Hingga Orde Baru di Nusantara
Pada tahun 1945 tanggal 17 agustus, nusantara mendeklarasikan kemerdekaannya menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Pendidikan menjadi perhatian utama bagi negeri yang baru merdeka itu untuk membangun dirinya menjadi negeri yang kuat. Sekilas memang program-program pemerintahan Soekarno banyak bersifat anti imperialis, namun pada dasarnya rejim ini adalah rejim bimbang yang melakukan nasionalisasi asset asing tidak secara tuntas. Begitu pun kepemilikan lahan masih dipegang oleh kaum tuan tanah, sehingga walaupun pendidikan pada saat itu memang diorientasikan untuk mendukung politik anti Nekolimnya Soekarno, namun pada kenyataannya secara akses, banyak rakyat Indonesia yang tidak mampu mengenyam pendidikan secara layak
Setelah lengsernya pemerintahan rezim soekarno, nusantara kemudian memasuki suasana perintahan yang otoriter dan diktator yakni rezimnya Suharto atau lebih akrab disebut dengan rezim orde baru. Pada masa rezim ini arus modal asing untuk mengeksploitasi kekayaan nuasantara terus menagalir. Kekayaan alam yang dimiliki indonesia memang menjadi rangasangan menggairahkan bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Industri-industri yang nota bene modalnya dari korporate besar luar negri, mulai mejalar diamana-mana. Sikap suharto yang membuat peruasahaan asing bisa leluasa masuk kenusantara membuktikan bahwa rezim suharto adalah rezim yang pro terhadap imprealisme (kapitalisme monopoli). Pendidikan menjadi alat bagi Soeharto untuk memantapkan dominasi imperialis di Indonesia. Pendidikan menjadi alat pemenuhan kebutuhan tenaga kerja murah sekaligus komoditi bagi eksploitasi perusahaan-perusahaan imperialis di Indonesia. Melalui kurikulum yang anti rakyat, pemerintahan ini menanamkan nilai-nilai pro imperialis serta nilai anti demokrasi dalam peserta didik yang mencerminkan karakter pemerintahannya. Untuk pemenuhan tenaga kerja murah, dibukalah sekolah-sekolah kejuruan yang secara nilai keilmuan hanya menjadikan peserta didik hanya memiliki skill rendah. Kerjasama dengan perusahaan asing serta perusahaan borjuasi komprador dibuka dengan kedok menyerap tenaga kerja dari lembaga pendidikan yang bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Namun pada kenyataannya hanyalah alat bagi perusahaan untuk mendapatkan buruh murah. Kerjasama ini kemudian di bakukan dengan konsep Link and Match.
Pendidikan; Fase Reformasi Menuju BHP
Lengsernya suharato pada tanggal 21 Mei tahun 1998 dari tampuk kekuasaan kursi kepresidenan yang dia pimpin selama 32 tahun. Pada waktu itu pula kekuatan rezim orde baru mulai memudar. Diberabagai penjuru kota dinegri ini dipenuhi oleh aksi massa sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap pemerintahan rezim suharto. Ribuan mahasiswa mengahbiskan waktunya turun kejalan, bahkan diantara mereka harus merekan teman seperjauangannya yang ditembak oleh aparat negara (baca: Reformasi).  Akan tetapi semangat untuk menentangan kekuasaan rezim orade baru terus berkobar hingga seharto menyatakan mundur dari jabatan sebagi presiden.
Runtunya kekuasaan orde baru membawa indonesia memasuki era reformasi. Di era reformasi ini iklim politik dalam negri mulai bersentuhan dengan nilai-nilai demokaratis, rakayat sudah secara langsung memilih pemimpinya, pembanguan perlahan membuka konsep button up tidak lagi top down. Akan tetapi diantara perkembangan yang telah dicapai oleh reformasi terselip kebobrokan politik pemeritntah yakni; semakin meningkatanya investor-investor asing menanamkan modalnya dinusantara dan semakin menumpuknya hutang indonesia ke IMF dan world Bank, sehingga kekuatan inetervensi kapitalisme gelobal tarhadap indonesia semakin massif dan tidak ada satupun pemimpin negri ini yang mampu menolaknya semuanya mengamini apa yang diinginkan kapitalisme global.
Kekuatan intervensi asing terhadap indonesia dan keberpihakan pemerintah terhadap kapiatlisme mengatarakan indonesia pada juarang hilangannya kedaulatan indonesia sebagai negara. Kedaulatan indonesia suadah diambil alih oleh kekuatan pasar (neoliberalisme). Eksistenti negara benar-benar seperi yang telah dikatakan Karl Mark bahwa negara adalah alat kepentingan kelas, karena negara sekarang dipegang oleh kekuatan kelas atas (borjuasi) maka setiap kebijakannya meraka keluarkan pasti akan berpihak pada kaum pemodal dan akan berkiblat pada perkembangan dan kepentingan kapitalisme global sementara rakyat hidup dalam ketertindasan.
Dari perkembagan kapitalime global inilah, menjadi dasar kita untuk menagnilisis sistem pendidiak dinusantara saat ini. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Diera reformasi ini, arah pendidikan tidak hanya beroriantasi pada penyediaan tenaga produksinya kapitalisme melainkan pendidikan menjadi ladang jasa yang bisa mendatangkan keuntugan para pemodal. Logika perusahaan (korporate) dipaksakan pada dunia pendidikan. Sehingga Pendidikan menjadi barang dagangan yang sangat melangit harganya sebagimana harga yang berkembang dipasar global, pendidikan menjadi barang elit dan hanya bisa diakses oleh orang-orang yang elit. Semantara kalangan masyarakat miskin pendidikan menjadi sesuatu susah untuk dinikmati. Dari mahalnya biaya pendidikan tersebut membuat maysarakat ditahun 2008 angka putus sekolah dasar menacapi 814.000 dan angka putus sekolah SMP mecapai 211.643 siwa.
Ketika pendidikan sudah masuk pada ranah komersil dan pendidikan dijadikan komodoti jasa untuk diperjual-belikan maka, sudah barang tentui yang dibicarakan oleh dunia pendidikan seperti itu bukan lagi meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan tersebut, tetapi yang dibicarakan adalah untung dan rugi sebagaimana logika yang ada dalam pasar modal dan perusahaan. Secara hukum Pemerintah ketika kita melihat fenomena dunia pendidikan saat ini sudah melanggar pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan kehidupan berbangsa hanya untuk orang yang memilki uang banyak dan hal ini sangat melanggar dan bertentangan dengan amanat  UUD 1945 pasal 31. Karena kita ketahui bahwa, jangankan untuk membayar uang pendidikan untuk makan saja masyarakat sangat susah.
UU BHP tidak lain adalah alat legitimasi kekuatan untuk melegitimasi komersialisasi dunia pendidikan sebagai amanat dari Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dimana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).  Kemudian kesepakatan tesebut diperkuat lagi dengan PP 60 dan 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional serta UU No.02 tahun 2009.
Bagaimanapun juga, kita akan selalu sepakat pendidikan adalah sesuatu yang terpenting untuk meciptakan dan mengembangkan bangsa yang produktif dan mandiri. Akan tetapi pertanyaan adalah benarkah pendidikan saat ini adalah pendidikan yang natinya mampu meciptakan peserta didik yang benar-benar mampu mengeluarkan bangsa ini dari keterprukan sosial? atau jangan-jangan pendidikan hari ini adalah tempat jasa yang bisa diperjual belikan dan atau hanya sekedar tempat menciptakan pekerja (buruh) yang siap dibayar murah untuk kelangsungan produksi dalam mengeksploitasi kekayaan bangsa ini oleh kapitalisme monopoli (imprealisme)?.
Sejatinya pendidikan harus dikembalikan pada pokok persoalan rakyat agar out put dari pendidikan tersebut mampu menjawab persoalan pokok yang diahadapi rakyat saat ini. pendidikan harus bersifat demokratis dalam artian rakyat dinusantara bisa mengakses pendidikan tersebut tanpa memandang bulu dan latar belakang ekonomi. dan sudah saatnya paradigma pendidikan dinegri ini memangkas paradigma yang diskriminatif. Agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang cerdas dan memliki skill serta olah pikir yang maju untu menuju bangsa yang lebih maju. ketika pencapaian terhadap kecerdasan menjadi sesuatu yang sulit diakses maka kebodohan akan menumpuk, dan apabila kebodohan terus berkembang maka akan timbul tindakan-tindakan yang besifat anomaly, tindakan social yang irasonal dan amoral sebagaiman hukum kausalitas.
Dengan di sahkanya UU BHP semakin kompleksitasnya persoalan pendidikan dinegri ini dan menjadi fakta sejarah yang buruk bagi kaum muda usia pendidikan untuk selanjutnya. Sejarah pendidikan dari awal masyarakat yang feodalistik hingga reformasi tidak lain adalah sejarah pendidikan yang jelas-jelas mengatakan bahwa hanya diperuntukkan bagi kelanggengan kekuasaan para pengauasa. Pendidikan hanya sebatas wadah untuk mempercepat penghisapan dan pemasungan demokrasi rakyat oleh feodalisme dan kapitalisme global. Kekuatan belenggu kapitalisme global mengantarkan pendidikan menjauh dari nilai-nilai humanistik. Pendidikan tidak lagi menjadi wadah untuk pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat partisipatif dan komunikatif agar mampu menyelesaikan persoalan pokonya. Melaikan hanyalah wadah yang hanya menciptakan sumberdaya manusia yang siap menagbdikan diri terhadap pemegang kekuasaan dunia, baik secra politik maupun secara ekonomi. 

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

MANAJEMEN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PROGRAM SERTIFIKASI GURU



Pendahuluan
    Profesionalisme guru di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sering dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan profesi. Ketiga hal ini nampaknya menjadi diterminan kualitas pendidikan. Guru profesional adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV, memiliki kompetensi untuk melaksanakan fungsi sebagai agen pembelajaran dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompeten, diberikan sertifikat pendidik, dan diberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
    Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Secara formal guru yang telah tersertifikasi, diasumsikan telah memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi. Kompetensi yang dimaksud mencakup kompetensi; pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.
    Persoalan yang muncul dan berkembang, adalah bahwa guru yang diasumsikan telah memenuhi kualifikasi akademik dan memiliki kompetensi karena telah tersertifikasi, dalam jangka panjang sulit untuk dipertanggung -jawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat ketika proses sertifikasi berlangsung. Sementara sertifikasi sesungguhnya erat kaitannya dengan proses belajar, sehinga sertifikasi tidak dapat digunakan sebagai asumsi cerminan kompetensi unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi sesungguhnya adalah awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru pasca sertifikasi, diperlukan sistem manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru dan sekaligus peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
    Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas profesi. Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutup kelemahan--kelemahan yang tidak (belum) nampak pada saat seleksi guru maupun calon guru, (3) untuk membangun dan mengembangkan sikap profesional guru, dan (4) mengembangkan kompetensi utuh profesionalisme guru (Santyasa, 2008). Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru, antara lain adalah program (1) pembimbingan dan penugasan, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) studi lanjut, (4) promosi jabatan, (5) konferensi, lokakarya, dan seminar, serta (6) pembinaan melalui kegiatan supervisi pembelajaran.
    Walau guru telah tersertifikasi dan diasumsikan telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan perubahan dan perkembangan pendidikan, guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya. Peningkatan kompetensi tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, tetapi yang lebih penting adalah kemauan diri dan komitmen untuk mau terus menerus melakukan peningkatan kompetensi (Mantja, 2002). Asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi, diharapkan lebih menjadi spring board bagi guru dalam upaya untuk terus menata komitmen melakukan perbaikan diri ke arah peningkatan kompetensi. Peningkatan kompetensi atas dorongan komitmen diri ini selanjutnya diharapkan mampu rneningkatkan keefektifan kinerjanya di sekolah.
     Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa untuk memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya, diperlukan adanya sinergi antara komitmen diri dan sistem manajemen. Sinergi antara komitmen guru dan sistem manajemen diharapkan mampu melahirkan suatu proses kolaborasi yang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru. Berikut dikaji empat dimensi teoretik konseptual sebagai alternatif landasan bagi guru dan lembaga pendidikan dalam kerangka memfasilitasi pengembangan profesionalisme guru. Keempat dimensi yang dimaksud adalah; (1) dukungan kompetensi manajemen, (2) strategi pemberdayaan, (3) supervisi pengembangan, dan (4) penelitian tindakan kelas.
Dukungan Kompetensi Manajemen
    Kompetensi manajemen yang dibutuhkan unruk peningkatan profesionaiisme guru dibedakan atas tiga aras, yaitu (1) manajemen aras kebijakan di tingkat birokrasi dinas pendidikan, (2) manajemen aras sekolah di tingkat kepala sekolah, dan (3) manajemen aras operasional di tingkat guru (Surya Dharma, 2003).     
    Pada aras kebijakan di tingkat dinas pendidikan, menurut Santyarsa (2008) dibutuhkan kompetensi tentang (1) pemikiran strategik (strategic thinking), (2) kepemimpinan yang berubah (change leadership), dan (3) manajemen hubungan (relationship management). Pemikiran strategik merupakan kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan sistem pendidikan yang begitu cepat, peka terhadap kondisi eksternal berupa peluang dan tantangan, memberdayakan potensi internal berbasis kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan yang diterapkan, sehingga mampu mengidentifikasi respons strategik secara optimal. Aspek kepemimpinan yang berubah menunjuk pada kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan strategi organisasi (dinas pendidikan) yang dapat ditransformasikan kepada guru. Sementara kompetensi manajemen hubungan menunjuk pada kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan instansi lain yang terkait, misalnya dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Kompetensi-kompetensi ini diperlukan untuk mendorong peningkatan profesionalisme guru di wilayah tanggungjawab birokrasi dinas pendidikan terkait.
    Pada aras sekolah oleh kepala sekolah, dibutuhkan kompetensi-kompetensi; (1) fleksibilitas, (2) terapan perubahan, (3) pemahaman interpersonal, (4) pemberdayaan, (5) fasilitasi tim, dan (6) portabilitas (Santyarsa, 2008). Aspek fleksibilitas adalah kemampuan melakukan perubahan pada struktur dan proses manajerial sekolah. Aspek terapan perubahan merujuk pada kemampuan untuk melakukan perubahan strategi implementasi kebijakan demi tercapainya keefektifan pelaksanaan tugas sekolah. Aspek pemahaman interpersonal merujuk pada kemampuan untuk memahami nilai berbagai tipe individu guru layaknya sebagai seorang manusia. Aspek pemberdayaan (empowering) adalah kemampuan berbagi informasi, akomodatif terhadap gagasan guru, mengakomodasi kebutuhan guru dalam peningkatan profesionalisme, mendelegasikan tanggung jawab secara proporsional, menyiapkan sarana dan umpan balik yang efektif, menyatakan harapan-harapan yang positif kepada guru dan menyediakan penghargaan bagi peningkatan kinerja guru. Dimensi fasilitasi tim mengarah pada kemampuan untuk menyatukan para guru dalam bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan bersama, temasuk memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam mengatasi konflik yang ada. Dimensi portabilitas adalah kemampuan beradaptasi dan berfungsi secara efektif dengan lingkungan luar sekolah. Kompetensi-kompetensi itu diperlukan untuk mendorong timbulnya motivasi intriksik para guru dan rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam meningkatkan profesionalismenya.
    Pada aras operasional di tingkat personal guru, dibutuhkan kompetensi; (1) fleksibilitas, (2) mencari dan menggunakan informasi, motivasi, dan kemampuan untuk belajar, (3) motivasi berprestasi, (4) motivasi kerja di bawah tekanan waktu, (5) kolaboratif, dan (6) orientasi pelayanan kepada siswa (Santyarsa, 2008). Dimensi fleksibilitas adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi, dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasisme dalam mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal. Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi, perbaikan berkelanjutan baik kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan sesuai dengan tantangan kompetensi. Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi antara fleksibilitas, motivasi berprestasi, menahan stress, dan komitmen untuk meningkatan profesionalisme. Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multidisiplin, menaruh harapan positif kepada kolega lain, pemahaman interpersonal dan komitmen pendidikan. Dimensi keinginan yang besar melayani siswa dengan baik adalah kompetensi yang dibutuhkan oleh guru sebagai konsekuensi berlakunya paradigma custumisation.
Strategi Pemberdayaan
    Dewasa ini guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya yang lebih bersifat physical asset menuju pada paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigrna tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimiliki, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.
    Strategi pemberdayaan adalah salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2003), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikan wewenang dan tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini di satu sisi dapat merupakan proses kaderisasi, dan di sisi lain sekaligus sebagai proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.
    Unkuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan paradigma¬ desire, trust, confident, credibility, accountability, dan communication. Paradigma desire merupakan upaya untuk (a) memberi kesempatan kepada guru mengidentifkasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, c) mendorong terciptanya perspektif baru untuk meningkatkan kinerja guru, dan (d) melatih guru untuk melakukan self-control.
    Paradigma trust mencakup upaya untuk; (a) memberi kesempatan kepada guru berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerjanya.
    Paradigma Confident merupakan upaya untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution.
Beberapa upaya dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peringkat standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru lain untuk rnelakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas.
    Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.
    Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan kebijakan komunikasi buka pintu, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-training.
Supervisi Pengembangan
    Secara umum kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pembelajaran. Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pembelajaran. Para guru diseyogakan berpengharapan agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pembelajaran. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus memiliki kompetensi kepemimpinan pembelajaran, dan memiliki pemahaman yang memadai tentang cara yang tepat dalam melaksanakan supervisi.
    Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan pendekatan supervisi pengembangan (developmental supervision). Pendekatan ini bertolak dari kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dengan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban untuk memahami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan supervisi kepada guru, seyogyanya guru diperhatikan sebagai individu, karena ada perbedaan¬-perbedaan individual dalam perkembangan manusiawinya. Perlakuan ini sangat diperlukan, terlebih jika guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan ini erat kaitannya dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam menjalankan tugas keprofesionalan, yaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks.
    Komitmen guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan mengembangkan profesinya. Komitmen diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, yaitu kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisme. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa.
    Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas kognitif. Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan profesionalisme, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif tinggi.
    Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting, demonstrating, directing, standardizing, reinforcing. Tindakan-¬tindakan ini dilakukan untuk mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran, menetapkan perangkat standar untuk perbaikan pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak, bahwa dalam supervisi direktif, tanggung jawab cenderung lebih banyak pada kepala sekolah dibandingkan dengan tanggung jawab guru.
    Dalam supervisi kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah listening, clarifying, pressenting, problem solving, negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya mendengarkan persepsi guru tentang masalah pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk diterapkan dalam pembelajaran.
    Beranjak dari pemahaman kepala sekolah, bahwa guru mampu berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening, clarifying, encouraging, pressenting, negotiating, accomodating teacher-initiated. Tindakan¬-tindakan tersebut bertolak dari premis, bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah adalah mendengarkan, tidak memberi pertimbangan, membangkitkan kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh informasi dengan tujuan membuka komunikasi. Peranan kepala sekolah sebagai supervisor perkembangan yang melaksanakan tugasnya seperti itu, niscaya akan membuat persepsi guru menjadi lebih positif.
Penelitian Tindakan Kelas sebagai Model Profesionalisasi Guru
    Dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan, merupakan wujud perhatian dan kepedulian birokrasi dan utamanya kepala sekolah terhadap guru di sekolah. Perhatian itu bermuara pada upaya membantu guru dalam meningkatkan profesionalismenya. Guru profesional secara teoretis akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, memberikan layanan pembelajaran kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menantang, dan menyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontiniu melakukan penelitian tindakan kelas atau PTK.
    Secara konseptual PTK adalah langkah reflektif bagi guru terhadap praktik pembelajaran dalam kesehariannya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas praktik pembelajaran, yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan secara umum. PTK adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif mandiri, yang dapat digunakan dalam proses pengembangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas pembelajaran di kelas.
    Menurut Kemmis dan Carr (dalam McNiff, 1992), PTK merupakan bentuk penelitian refleksi diri yang dilakukan oleh guru, siswa, atau kepala sekolah dalam pendidikan untuk memperbaiki dan memahami praktik-praktik pendidikan. Fokus utama PTK adalah mendorong guru terlibat melakukan kegiatan-kegiatan dengan sikap ilmiah, situasional, praktis, empiris, fleksibel, adaptif, partisipatoris, dan self-evaluation.
    Secara rasional PTK memiliki landasan sosial dan landasan kependidikan. Landasan sosial PTK adalah keterlibatan, sedangkan landasan kependidikannya adalah perbaikan. Operasionalisasi PTK menuntut adanya perubahan. PTK mengandung makna tindakan baik terhadap sistem maupun terhadap orang yang ada di dalam sistem itu.
    PTK memiliki prosedur partisipatoris yang efektif digunakan untuk memecahkan masalah-masalah peningkatan hubungan interpersonal, kolaboratif, partisipatif, pengakomodasian, dan demokratis. Tantangan bagi guru adalah bahwa dia harus selalu membangkitkan kesadaran terhadap praktik-praktik pembelajarannya di kelas. PTK merupakan wahana dan sarana untuk meningkatkan strategi belajar mengajar dengan mewajibkan guru untuk selalu sadar, kritis, dan terbuka melakukan perbaikan. Dengan demikian dapat mendorong guru untuk selalu berpikir kritis dan logis terhadap pengetahuan profesionalnya. PTK bersifat sistematis dan fleksibel dengan menyertakan kegiatan perencanaan yang bersifat reflektif, tindakan, pengamatan dan evaluasi, refleksi, dan perencanaan ulang. Proses ini merupakan langkah-langkah yang bersifat siklik atau siklus.
    PTK ini sangat bermanfaat dalam membangun hubungan interpersonal, tipe pembelajaran yang bervariasi, pengukuran bentuk-bentuk wacana kelas, penyelidikan terhadap manusia dengan melakukan komunikasi interpersonal selektif dan langsung. Kesahihan PTK bersifat personal, dan tidak semata-mata menekankan kesahihan metodologis. PTK memberikan kontribusi dalam pernecahan masalah secara empirik dan faktual. PTK dapat digunakan oleh peneliti yang berupaya ingin mengetahui secara sistematis dan terkendali atas praktik-praktik pembelajarannya sendiri. Dengan mengadaptasi pandangan yang humanis dalam penelitian pendidikan, maka peneliti mengubah perilakunya ke dalam suatu penelitian yang lebih manusiawi. PTK memberi bekal kepada guru untuk berpikir secara rasional dan memilih dasar filosofis yang tepat serta metodologis. PTK lebih banyak menekankan partisipasi demokratis.
    PTK terbuka terhadap pengalaman, proses baru, dan bersifat mendidik. Melalui PTK, guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Dalam hal ini, komitmen personal sangat menentukan dengan dasar filosofi bahwa dalam rangka menerima tanggung jawab profesional sebagai pendidik, guru hendaknya terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri. Secara empiris PTK lebih menekankan pada validitas dan reliabilitas data. Paham ini lebih menekankan pada pendekatan etik, sehingga guru tidak diberitahukan mengenai metode, tujuan, dan alasan penelitian. Penelitian tidak menekankan pengumpulan dan analisis data secara statistik. Isu yang diteliti tidak terfokus pada perkembangan personal. Secara interpretatif PTK bersifat sosiologis yang lebih menekankan kesamaan interpretasi antara guru sebagai aktor dan peneliti sebagai pengamat. Tradisi ini menggunakan pendekatan emic yang lebih bersifat kualitatif (Glaser dan Straus dalam McNeiff, 1992b).
    Berdasarkan uraian di atas, para guru diseyogyakan untuk melakukan PTK seeara berkesinambungan. Praktik pembelajaran yang dikritisi dengan kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan melalui PTK, secara bertahap akan meningkatkan profesionalisme guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005; McNeiff, 1992). Hal ini dapat terjadi karena PTK dapat membantu guru, dalam; (l) pengembangan kompetensi melalui penyelesaian masalah pembelajaran yang mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas baik yang menyangkut proses maupun hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru. PTK merupakan cara guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan pengalaman sendiri maupun pengalaman berkolaborasi dengan guru lain.
    PTK adalah suatu metode untuk memberdayakan guru agar mampu mendukung kinerja kreatif sekolah. PTK merupakan wahana bagi guru dalam melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam upaya memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002) menyatakan bahwa, PTK dapat mengarahkan guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain. Di samping itu PTK juga dapat mendorong guru ntuk melakukan refleksi terhadap praktik pernbelajarannya dan untuk membangun pemahaman yang mendalam, serta mengembangkan hubungan personal dan sosial antar guru. PTK dapat memfasilitasi guru dalam mengembangkan pemahaman tentang pedagogi untuk memperbaiki pemberlajarannya (Whitehead, 1993). Dengan demikian jelas bahwa penerapan PTK scara baik dan benar dalam pembelajaran akan dapat meningkatkan profesionalisme guru.
    Berkaitan dengan perolehan belajar siswa, PTK berpotensi meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan perolehan belajar konseptual dan praktikal siswa, memperbaiki perilaku belajar siswa, bahkan menumbuhkan kepedulian siswa terhadap pemeliharaan perolehan belajar. Di samping dapat meningkatkan keterampilan berpikir reflektif dan kritis, menurut Webster (2003) PTK berpotensi meningkatkan keterampilan-keterampilan siswa dalam pemecahan masalah, komunikasi, menulis, pemahaman, dan pengorganisasian gagasan.
Kesimpulan
    Program sertifikasi guru adalah upaya pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru berkualitas dan berkompetensi. Guru profesional yang dinyatakan dalam bentuk pemberian sertifakat pendidik, merupakan dasar untuk memberikan tunjangan profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru profesional.
    Untuk menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme secara berkesinambungan. Secara preskriptif dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru. Dukungan kampetensi manajemen diperankan oleh dinas pendidikan dan kepala sekolah. Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik, bahwa guru yang harus berkembang secara profesional, pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya itu secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan tidak lebih dari sebatas fasilitasi dan pijakan bagi guru dalam membangun komitmen. Sedangkan pelaksanaan penelitian tindakan kelas merupakan wujud kesadaran guru berbasis refleksi diri untuk meningkatkan profesionalismenya. Dukungan kebijakan dinas pendidikan dan kepala sekolah, diperlukan dalam meningkatkan keefektifan pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh guru.

Daftar Rujukan
Kirkey, T. L. 2005. Differentiated instruction and enrichment opportunities: An action research report. http: //www. nipissingu. caloarlFDFSlY833E. pdf. Mantja, W. 2002.
Manajemen pendidikan dan supervisi pembelajaran. Malang: Wineka Media. McNiff, J. 1992
(a). Action research: Principles and practice. London: Routledge. McNiff, J. 1992
(b). Action research for professional development: Concise advise for new action research. http://www.ieanmcneiff.com/bookletl.html. Ryan, T. G. 2002. Action research: Collecting and analyzing data. http://www. nipissingu.ca.oar/Reports/reports and document-Thomas G Ryan%20.pdf. Stringer, R. T. 1996.
Action research: A handbook for practitioners. London: International Educational and Profesional Publisher. Santyarsa, I Wayan. 2008.
“Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan Profesionalisme Guru”. http://www.koranpendidikan.com/artikel-8095.pdf. Surya Dharma. 2003.
Pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 105-120. Yogyakarta: Amara Book. Wahibur Rokhman, J. 2003.
Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book. Wideman, R., Delong, J., Morgan, D., & Hallett, K. 2003.
An action research approach to improving student learning using provincial test results. Tersedia pada httpa/www. educ.queensu.ca/-ar/reports/Jwebster.pdf. Diakses pada tanggal 25 Juni 2007.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PROGRAM STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI KOMPETENSI GURU



ABSTRAK

Reformasi pendidikan terus bergulir. Beberapa wacana baru telah dilontarkan  oleh Depdiknas dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas tenaga kependidikan. Wacana tersebut meliputi paradigma baru dalam peningkatan profesionalisme guru, terutama yang berkaitan dengan (a) pengembangan standarisasi kompetensi guru, (b) pelaksanaan sertifikasi dan resertifikasi kompentensi guru, serta (c) pemberian lisensi bagi tenaga kependidikan. Terlepas dari maksud baik pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan profesionalisme guru, termasuk untuk mereposisikan guru sebagai suatu profesi yang bermartabat, terdapat beberapa hal mendasar   yang harus dicermati, yaitu  (1) pengertian dan dimensi tentang profesionalisme guru dan indikator-indikatornya masih kabur, (2) Konsep dan kerangka implementasi wacana program sertifikasi dan resertifikasi profesi guru belum jelas. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, tujuan dari artikel ini adalah untuk membahas secara kritis tentang (1) pengertian dan dimensi profesionalisme guru, beserta indikator-indikatornya, dan (2) pemikiran konseptual program standarisasi, sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru, beserta  tantangan implementasinya. Beberapa saran konstruktif tentang pengembangan profesi guru, terutama yang berkaitan dengan program LPTK juga diberikan.

Kata kunci:  Profesionalisme Guru, Standarisasi Kompetensi Guru, Sertifikasi Kompetensi Guru.


1. Pendahuluan
Ada beberapa wacana baru yang telah dicanangkan oleh Depdiknas dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas tenaga kependidikan. Wacana tersebut meliputi paradigma baru dalam (a) pengembangan standarisasi kompetensi guru, (b) pelaksanaan sertifikasi dan resertifikasi kompentensi guru, serta (c) pemberian lisensi bagi tenaga kependidikan.
Jika selama ini lulusan LPTK otomatis mendapatkan sertifikat akta mengajar, dengan demikian otomatis pula berhak menjadi guru, maka kini diwacanakan bahwa suatu saat nanti lulusan LPTK adalah sarjana tenaga kependidikan (misalnya pengembang kurikulum, tenaga administrasi kependidikan, konselor sekolah, pengamat pendidikan, dst.). Sarjana kependidikan, termasuk sarjana nonkependidikan dapat menjadi guru melalui program lisensi dan sertifikasi yang akan dilaksanakan oleh konsorsium nasional yang independen.
Di samping itu, beberapa rekomendasi di tingkat kebijakan telah diberikan, sebagai berikut.  (1) Ditjen Dikdasmen dan Ditjen Dikti secara bersama-sama menentukan Standar Kompetensi memasuki profesi guru dan menerapkannya dalam rekrutmen guru baru.  (2) Pola pembinaan guru di sekolah (in-service training) didasarkan pada hasil audit kompetensi oleh badan yang kompeten dan difasilitasi di tingkat regional.  (3)  Ditjen Dikmenum berkolaborasi dengan LPTK untuk bersama-sama mengembangkan pola program kemitraan yang kontekstual, berkelanjutan (tidak ad-hoc) dan didasarkan atas konsep yang jelas tentang pengembangan profesionalisme guru sepanjang kariernya.  (5)  Perlu ke hati-hatian dalam mengembangkan  program peningkatan mutu guru melalui program S2/S3, antara lain untuk pencegahan potensi dislokasi guru bermutu. Hal ini bisa dilakukan dengan sistem kontrak kerja.  (6)  Penghargaan dan karier guru didasarkan pada kompetensi (merit) agar pendekatan mutu menjadi motivator untuk inovasi dan kegiatan pengembangan diri ataupun kapasitas institusi.  (7)  MGMP dijadikan forum sumber (resources forum) untuk peningkatan dan pengayaan bidang studi, dengan melibatkan nara sumber, teknologi, dan media yang efektif.  (8)  Inovasi dan kegiatan eksperimentasi yang dilakukan di sekolah dikomunikasikan, dan keberhasilannya didiseminasikan dalam bentuk shared best praktices agar ada dokumentasi dan apreasi (Sukamto, 2004).

Sistem Rekrutmen dan Pembinaan Guru
Wacana

Kenyataan
Lisensi dan Sertifikasi Ulang


Pembinaan dan pengembangan dalam konteks pengakuan kompetensi guru sampai pensiun
Sertifikasi oleh Konsorsium Nasional Independen
Induksi
Lisensi
Pengangkatan
Program Pendidikan Guru
Program D2 / S1- LPTK
Entry: Program Bidang Studi (4 tahun)
Ujian Masuk (SPMB) dari SMU sederajat
Sumber: Sukamto (2004)

Terlepas dari maksud baik pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan profesionalisme guru, termasuk untuk mereposisikan guru sebagai suatu profesi yang bermartabat, terdapat beberapa hal mendasar   yang harus dicermati, yaitu  (1) pengertian dan dimensi tentang profesionalisme guru dan indikator-indikatornya masih kabur; (2) konsep dan kerangka implementasi wacana program sertifikasi dan resertifikasi profesi guru belum jelas. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, tujuan dari artikel ini adalah untuk membahas secara kritis tentang (1) pengertian dan dimensi profesionalisme guru, beserta indikator-indikatornya, dan (2) pemikiran konseptual program standarisasi, sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru, beserta  tantangan implementasinya. Beberapa saran konstruktif tentang pengembangan profesi guru, terutama yang berkaitan dengan program LPTK juga diberikan.

2.  Pembahasan
2.1 Dimensi  Profesionalisme Guru dan Indikatornya
Banyak teori dan pemikiran yang berkembang tentang profesionalisme guru. Beberapa pemikiran dari negara maju, seperti dari Australia dan beragam pandangan dari negara-negara bagian di Amerika Serikat, seperti yang dipaparkan dalam Sudarsono (2004), dapat dicermati sebagai berikut.        
Australia misalnya, melalui The National Project on the Quality of Teaching and Learning (NPQTL) pada tahun 1992, menyarankan lima hal tentang kompetensi profesional guru, yaitu (a) mampu mempergunakan dan mengembangkan nilai dan pengetahuan profesional (b) mampu berkomunikasi, berinteraksi dan bekerja dengan siswa dan yang lain, (c) mampu merencanakan dan mengelola proses pembelajaran, (d) mampu memantau kemajuan dan hasil belajar siswa, dan (e) mampu merefleksi, mengevaluasi serta merencanakan program untuk melakukan peningkatan secara berkelanjutan.
Di Amerika terdapat banyak variasi antara negara bagian yang satu dengan yang lainya, tentang pemikiran dimensi profesionalitas guru.  Penilaian dimensi profesionalisme guru seperti berikut.
Florida Education Standards Commission 1994 merumuskan 10 macam kompetensi utama guru, yaitu (a) mendemontrasikan keterampilan profesional dalam mengintegrasikan strategi pembelajaran untuk semua siswa yang merefleksikan kultur, gaya belajar, kebutuhan khusus dan latar belakang sosial - ekonomi siswa; (b) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menggunakan strategi pemebelajaran untuk membantu perkembangan intelektual, sosial, dan pifir siswa; (c) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menjalin hubungan antar pribadi untuk melaksanakan pembelajaran; (d) mendemonstrasikan pemahaman tentang belajar dan perkembangan peserta didik dengan menyediakan lingkungan belajar yang positif untuk mendukung pertumbuhan intelektual, pribadi, dan sosial siswa; (e) mendemonstrasikan keterampilan profesional yang meliputi kemampuan mengidentifikasi dan memilih kebutuhan siswa serta dalam merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi efektivitas pembelajaran dalam suatu lingkungan belajar yang bervariasi; (f) mendemonstrasikan keterampilan dalam mempergunakan tehnik dan strategi yang tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan berfikir evaluatif siswa; (g) mendemonstrasikan keterampilan profesional sebagai praktisioner dalam memprakarsai dan merencanakan serta mengelola peningkatan kualitas secara berkelanjutan dengan tepat, baik untuk siswa ataupun sekolah; (h) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif yang mampu menjaga interaksi sosial, belajar secara kooperatif, dan giat dalam pembelajaran, serta motivasi belajar; (i) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam bekerja dengan berbagai jenis profesi bidang pendidikan, orangtua siswa, dan stakeholder lainnya dalam menyediakan pengalaman pendidikan siswa; (j) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam mempergunakan teknologi sebagai alat untuk merncapai produktivitas yang tinggi baik untuk guru ataupun siswa.
Sementa Salt Lake City (1982) mengembangkan kompetensi guru, yang (a) mampu menentukan standar harapan kinerja siswa dengan melakukan, evaluasi diagnostik, menetapkan standar harapan sesuai dengan jenjangnya, menentukan kebutuhan individual siswa, tujuan harapan untuk pencapaian prestasi siswa, dan melakukan evaluasi, (b) mampu menyediakan lingkungan belajar sesuai dengan ketersediaan sumber personel, ketersediaan berbagai ragam sumber dan materi belajar, organisasi dalam proses belajar, sikap positif terhadap siswa, memberikan contoh sikap bahwa semua siswa dapat belajar, guru menunjukkan sikap antusias dan komitmennya untuk mata pelajaran yang diampunya, dan perilaku siswa yang menggambarkan penerimaan pengalaman belajar, (c) mendemonstrasikan pengawasan siswa dengan tepat dengan memberikan bukti bahwa siswa mengetahui apa yang harus dilakukan, bukti bahwa siswa bekerja melakukan tugasnya, menunjukkan kejujuran, penerimaan, respek dan keluwesan, melakukan pengawasan secara tepat dalam situasi sulit, dan mengantisipasi serta menghindarkan dari krisis, (d) mendemonstrasikan secara tepat strategi pembelajaran dengan tehnik yang tepat, sesuai dengan taraf belajar, menyesuaikan tehnik untuk berbagai gaya belajar, mempergunakan tehnik untuk mengajarkan konsep atau keterampilan khusus, memberikan arahan dengan jelas, padat berisi, dan tepat untuk berbagai taraf belajar, membangun komunikasi dua arah dengan siswa dan mempergunakan umpan-balik untuk menentukan strategi belajar, menunjukkan maksud tujuan yang telah ditentukan dan memberikan bukti efektivitas pembelajaran.
Negara bagian Texas, mengembangkan indikator kompetensi yang mencakup, yakni (a) strategi pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dan berhasil, mengevaluasi dan menyediakan umpan-balik tentang kemajuan siswa selama pembelajaran, (b) organisasi dan manajemen kelas dalam mengorganisasi materi pelajaran dan siswa, memaksimalkan waktu yang tersedia untk pembelajaran, dan mengelola perilaku siswa, (c) penyajian mata pelajaran dengan mengajarkan dan mentransfer pengetahuan, afektif dan psikomotor dalam pembelajaran, (d) menciptakan lingkungan belajar dengan mempergunakan strategi guna memotivasi siswa untuk belajar , dan menjaga lingkungan yang mendukung, (e) mengembangkan profesionalisme dan tanggung jawab dengan merencanakan dan terlibat dalam pengembangan profesionalisme, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orangtua siswa, melaksanakan kebijakan, prosedur operasi, dan ketentuan persyaratan, dan meningkatkan serta mengevaluasi pertumbuhan siswa.
Di  Indonesia pun terdapat variasi rumusan tentang profesionalisme guru, misalnya; Komisi Kurikulum IKIP/FKg/FIP bersama P3G tahun 1982 merumuskan 10 kompetensi guru yang meliputi; (a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan bahan pendalaman materi, (b) mengelola program belajar-mengajar dengan merumuskan tujuan instruksional, mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar, memilih dan menyusun prosedur instruksioanl yang tepat, melaksanakan program belajar-mengajar, mengenal kemampuan awal anak didik, merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial, (c) mengelola kelas, mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran dan menciptakan iklim belajar-mengajar yang sesuai, (d) menggunakan media/sumber dengan mengenal, memilih dan menggunakan media, membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana, menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar-mengajar, mengembangkan laboratorium, menggunakan perpustakaan dalam PBM dan menggunakan unit pengajaran mikro dalam program pengalaman lapangan, (e) menguasai landasan kependidikan, (f) mengelola interaksi belajar-mengajar, (g) menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (h) mengenal fungsi dan program bimbingan penyuluhan dengan mengenali fungsi dan program pelayanan bimbingan di sekolah dan menyelenggarakan program pelayanan bimbingan di sekolah, (j) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (k) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Konsorsium Ilmu Pendidikan menuntut  kompetensi guru dalam: (a) memperlihatkan integritas pribadi, (b) memperlihatkan kepemimpinan yang produktif, (c) memahami konsep dasar keilmuan dan mampu berfikir ilmiah, (d) bersikap profesional, (e) memahami siswa dan berperilaku empatik, (f) memahami hakikat dan penyelenggaraan sekolah, (g) memahami proses pengembangan kurikulum, (h) menguasai bahan ajar, (i) mampu merancang program belajar-mengajar, (j) mampu mengaktualkan proses belajar-mengajar secara produktif, (k) mampu menilai proses dan hasil belajar, (l) melaksanakan peranan guru dalam bimbingan, (m) melaksanakan peranan guru dalam penyelenggaraan administrasi sekolah, (n) mampu memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar-mengajar, dan (o) melaksanakan penelitian sederhana untuk mengembangkan dan memperbaiki kemampuannya.
Rumusan kompetensi guru yang paling baru dari Depdiknas (2004)  dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Pembinaan  Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi memuat 4 rumpun kompetensi utama, yaitu (1) penguasaan substansi bidang studi, (2)   pemahaman karakteristik peserta didik, (3)  melaksanakan pembelajaran yang mendidik, dan (4) mengembangkan kepribadian dan meningkatkan komitmen profesional secara berkelanjutan. Berikut ini adalah paparan tentang keempat rumpun kompetensi tersebut, dimodifikasi dari Draf SKGP 2004 oleh Direktorat P2TK dan KPT.
Rumpun Kompetensi Penguasaan Substansi Bidang Studi. Indikator penguasaan bidang studi ini meliputi pemahaman karakteristik dan substansi ilmu sumber bahan ajaran, pemahaman disiplin ilmu yang bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan metodologi ilmu yang bersangkutan untuk memverifikasikan dan memantapkan  pemahaman konsep yang dipelajari, dan penyesuaian substansi ilmu yang bersangkutan  dengan tuntutan dan ruang gerak kurikuler, serta pemahaman tata kerja dan cara pengamanan kegiatan praktik. Hal ini menjadi penting dalam memberikan dasar-dasar pembentukan kompetensi dan profesionalisme guru di sekolah. Dengan menguasai isi bidang studi yang diajarkan guru dapat memilih, menetapkan, dan alternatif strategi berinteraksi dari berbagai sumber belajar yang gayut dengan kompetensi lulusan  yang akan dicapai dalam pembelajaran.
            Pemahaman Karakteristik Peserta Didik. Pemahaman tentang karakteristik peserta didik meliputi pemahaman berbagai ciri peserta didik, pemahaman tahap-tahap perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek dan penerapannya (aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik) dalam mengoptimalkan perkembangan dan pembelajaran peserta didik. Guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sihadapkan pada suatu komunitas individu yang memiliki variasi karakteristik yang sebanding dengan jumlah individu dalam komunitas tersebut. Komunitas yang dimaksud dapat berupa kelompok pebelajar (kelas). Pemahaman terhadap aspek ini oleh para guru menjadi prasyarat dapat melakukan strategi pembimbingan, pelatihan yang  sesuai dengan karkateristik individu pebelajar yang difasilitasi.
Melaksanakan Pembelajaran yang Mendidik. Penguasaan pembelajaran yang mendidik terdiri atas pemahaman konsep dasar proses pendidikan dan pembelajaran bidang studi yang bersangkutan, serta penerapannya dalam pelaksanaan dan pengembangan proses pembelajaran yang mendidik. Ciri pembelajaran yang mendidik adalah  pembelajaran yang dapat mengakomodasi dan memfasilitasi perbedaan perkembangan dan potensi individu secara optimal meliputi semua ranah perkembangan (kognitif, afektif, psikomotorik). Upaya memfasilitasi setiap aspek tersebut dalam pembelajaran selalu mengacu pada pembentukan kemampuan individu yang utuh dalam kompetensi kecakapan hidup yang bermartabat, bermoral, dan bertanggung jawab.
Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan. Pengembangan kepribadian dan keprofesionalan mencakup pengembangan intuisi keagamaan, intuisi kebangsaan yang berkepribadian, sikap dan kemampuan mengaktualisasi diri, serta sikap dan kemampuan mengembangkan profesionalisme kependidikan.
Keempat rumpun kompetensi guru tersebut tertuang dalam SKGP (Standar Kompetensi Guru Pemula) yang dikembangkan sejak tahun 2003 oleh Depdiknas melalui Direktorat P2TK dan KPT, dengan tujuan: (1) mewujudkan standar nasional kompetensi lulusan sebagai guru pemula yang merupakan bagian integral dari standar nasional pendidikan, (2) memberikan acuan dalam merumuskan kriteria, kerangka dasar pengendalian dan penjaminan nasional guru pemula, (3) meningkatkan profesionalisme guru pemula melalui standarisasi secara nasional dengan tetap memperhatikan tuntutan kontekstual.   SKGP ini diharapkan dapat dijadikan  rujukan oleh LPTK dalam rangka: (1) pengembangan kurikulum  program studi/jurusan, (2) penyediaan sarana dan prasarana pendukung perkuliahan, (3) pemberian izasah atau sertifikat kompetensi.
Kompetensi tersebut diperoleh seseorang melalui program pendidikan yang diselenggarakan secara concurrent (terintegrasi) bagi mereka yang sejak awal berkeinginan menjadi guru. Mereka yang setelah lulus dari universitas dalam bidang ilmu murni, kemudian bermaksud menjadi guru, dapat mengambil program akta mengajar atau program pembentukan kemampuan mengajar di LPTK. Program semacam itu disebut consecutive model atau model bersambungan. Kiranya patut direnungkan peringatan yang diberikan oleh tokoh pendidikan yang tidak asing bagi LPTK, yaitu T. Raka Joni (2003) tentang uji akhir penguasaan kompetensi lulusan, beliau mengatakan bahwa tanpa mekanisme uji akhir yang transparan, di negara kita secara dengan sendirinya (by default) mutu lulusan sudah "disertifikasi’ meskipun banyak bernuansa administratif, berupa pengakuan oleh BKN. Selanjutnya dikatakan bahwa sertifikasi formal ini pun sudah menjadi semakin kehilangan gigi, karena sebagai wali amanat masyarakat, pemerintah daerah apa pun alasannya secara de facto tidak lagi terlalu menghiraukan pemenuhan standar mutu itu. Instansi yang menangani kebijakan dan implementasi pembinaan guru, sampai sekarang ini sepertinya belum sepenuhnya menyadari peranan kunci dari standar kompetensi guru (SKG – SD/MI 2003 p.3).
Di samping berbagai uraian tentang konsep kompetensi guru di depan, empat pilar pendidikan yang dianjurkan oleh Komisi Internasional UNESCO, dapat pula dijadikan cerminan dalam merefleksikan kompetensi guru.  Guru hendaknya memiliki kompetensi yang baik dalam merancang dan melaksanakan segala aktivitas pembelajaran  yang dapat memfasilitasi siswa untuk learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Keempat pilar tersebut menuntut  guru untuk bekerja keras dan kreatif, serta   tekun dalam meningkatkan kemampuannya. Lebih jauh, guru akhirnya dituntut untuk belajar sepanjang hayat, berperan lebih aktif dan lebih kreatif, terutama untuk  (1) tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan sebagai produk, tetapi terutama sebagai proses;  (2) memahami disiplin ilmu pengetahuan  sebagai ways of knowing. Karena itu lebih dari sarjana pemakai ilmu pengetahuan tetapi harus menguasai epistimologi dari disiplin ilmu tersebut;  (3)  mengenal peserta didik dalam karakteristiknya sebagai pribadi yang sedang dalam proses perkembangan, baik cara pemikirannya, perkembangan sosial dan emosional, ataupun perkembangan moralnya;  dan (4) memahami pendidikan sebagai proses pembudayaan sehingga mampu memilih model belajar dan sistem evaluasi yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi berbagai kemampuan, nilai, sikap, dalam proses memperlajari berbagai disiplin ilmu.  

2.2  Standarisasi, Sertifikasi dan Resertifikasi Kompetensi Guru
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyiratkan perlunya sertifikasi guru. Disebutkan pula bahwa bahwa guru hendaknya  merupakan sebuah profesi yang menuntut kemampuan profesional, mirip seperti profesi lain, misalnya, dokter, pengacara, serta akuntan.
Di luar negeri,  misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlangsung.  Calon guru belum bisa mengajar bila belum memiliki sertifikat mengajar. Persyaratan ini sama seperti profesi dokter, pengacara, atau profesi lain yang membutuhkan kompetensi khusus yang tidak bisa digantikan orang lain.
Sementara di Indonesia, sampai saat ini tuntutan tentang adanya sertifikasi guru baru merupakan wacana.  Akta mengajar (bisa Akta II, III, dan IV) yang biasanya didapat otomatis setelah menempuh pendidikan keguruan (LPTK) atau mengikuti program akta mengajar secara khusus bagi tamatan non LPTK, masih menjadi izin legal untuk bisa melamar menjadi guru. Program Akta  itu berbeda dari sertifikasi, sebab mendapatkan sertifikasi perlu dilengkapi dengan syarat-syarat keprofesian lainnya, sedangkan Program Akta II, III dan IV sangat melekat dengan produsen yang mengeluarkan calon guru tersebut, yakni universitas yang memiliki fakultas ilmu kependidikan dan pengajaran (dahulu IKIP). Kemudian untuk sertifikasi, dibutuhkan lembaga  khusus untuk menilai apakah kompetensi yang dimiliki seorang calon guru itu  telah layak atau tidak untuk menjadi guru (profesional).  Dengan demikian, tujuan utama sertifikasi adalah untuk menguji apakah guru telah memiliki kemampuan profesional dan akademik yang memadai atau belum. Dengan sertifikasi guru, sekolah bisa membedakan antara guru yang baik, dengan yang belum baik dilihat dari kemampuan profesionalnya.  Keberadaan guru yang telah lulus sertifikasi perlu dipertahankan dan dipromosikan, sedangkan guru yang belum lulus sertifikasi perlu mendapat pembinaan  melalui berbagai program, seperti pelatihan, penataran, bimbingan, atau penyetaraan. Semangat sertifikasi harus diikuti oleh perbaikan sistem pendukung  keprofesian yang lain, seperti, peningkatan sarana pendukung tugas-tugas profesi guru, dan perbaikan kehidupan guru. Sebab, faktor kualitas dan jaminan kehidupan guru itu sendiri tak boleh dilupakan  ketika kualitas profesionalisme guru dituntut.   
Sertifikasi dan uji kompetensi dapat diharapkan   menjadi instrumen untuk standarisasi profesionalisme guru. Hal ini sangat positif, walaupun masih diperlukan kehati-hatian, terutama dalam perencanaan implementasinya.  Depdiknas merumuskan tiga tujuan utama  standardisasi kompetensi guru sebagai berikut.  (1)  Memformulasikan peta kemampuan guru secara nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.  (2)  Memformulasikan peta kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan. (3)  Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan tanggungjawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir tenaga kependidikan yang profesional. 
Diharapkan pula bahwa standarisasi kompetensi guru ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang peta kemampuan guru yang berkelayakan dan tidak berkelayakan baik secara individual, kelompok, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, Regional ataupun Nasional yang dapat diperuntukkan sebagai  (1) bahan perumusan kebijakan program pembinaan, (2) peningkatan kompetensi dan  kualifikasi, melalui diklat-diklat sesuai dengan hasil uji   kompetensi (skill audit), dan (3) peningkatan dan pengembangan karir dan profesi guru (Depdiknas, 2004).
Depdiknas (2004) melalui Direktorat P2TK dan KPT mewacanakan kerangka pelaksanaan sistem sertifikasi kompetensi guru, baik untuk  lulusan S1 kependidikan ataupun lulusan S1 nonkependidikan diwacanakan sebagai berikut.  (1) Lulusan program sarjana kependidikan sudah mengalami pembentukan kompetensi mengajar (PKM). Oleh karena itu, mereka hanya memerlukan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh  pendidikan tinggi yang memiliki Program Pengadaan Tenaga Kependidikan (PPTK) terakreditasi dan ditunjuk oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas, 2004). (2)  Lulusan program sarjana non-kependidikan harus terlebih dahulu mengikuti proses pembentukan kompetensi mengajar (PKM) pada perguruan  tinggi yang memiliki PPTK secara terstruktur. Setelah dinyatakan lulus dalam pembentukan kompetensi mengajar, baru lulusan S1 non-kependidikan boleh mengikuti uji sertifikasi. Sedangkan lulusan program sarjana kependidikan tentu sudah mengalami proses pembentukan kompetensi mengajar (PKM), tetapi tetap diwajibkan mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat kompetensi. (3) Penyelenggaraan program PKM dipersyaratkan berstatus lembaga LPTK yang terakreditasi. Sedangkan untuk pelaksanaan uji kompetensi sebagai bentuk audit atau evaluasi kompetensi mengajar  guru harus dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi yang ditunjuk dan ditetapkan  oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas, 2004).  (4)  Peserta uji kompetensi yang telah dinyatakan lulus, baik yang berasal dari lulusan program sarjana kependidikan ataupun sarjana non-kependidikan diberikan sertifikat kompetensi sebagai bukti yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk melakukan praktik dalam bidang profesi guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. (5)  Peserta uji kompetensi yang berasal dari guru yang sudah melaksanakan tugas dalam interval waktu tertentu (10—15) tahun sebagai bentuk kegiatan penyegaran dan pemutakhiran kembali sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persyaratan dunia kerja. Di samping itu, uji kompetensi juga diperlukan bagi yang tidak melakukan tugas profesinya sebagai guru dalam  jangka waktu tertentu. Bentuk aktivitas uji kompetensi untuk kelompok ini adalah dalam kategori resertifikasi. Termasuk dipersyaratkan mengikuti resertifikasi bagi guru yang ingin menambah  kemampuan dan kewenangan baru (Depdiknas,2004; bandingkan juga dengan Mukadis, 2004).  
  
 2.3 Tantangan dan Implikasi Bagi LPTK
            Beberapa hal yang telah dikemukakan tentang dimensi profesionalitas guru, terutama tentang wacana sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru  masih merupakan wacana yang dapat diperdebatkan, dan sering dipandang beberapa kalangan sebagai isu yang kontroversial, apalagi jika sudah dihadapkan pada masalah implementasi wacana tersebut secara riil di lapangan. Beberapa pertanyaan kritis bisa diajukan sebagai berikut.  (1)  Jika lisensi guru benar-benar dilakukan secara terbuka yang bisa diikuti oleh semua sarjana baik kependidikan, mau pun non-kependidikan, bukankah nasib lulusan LPTK semakin suram? Apakah ini berarti kehancuran total bagi LPTK?, Di pihak lain, jika profesi guru dibuka begitu saja kepada sarjana nonkependidikan plus program lisensi yang dilakukan secara terpisah dari bidang studi itu sendiri untuk mendapat lisensi guru (sertifikasi/akta mengajar), siapa yang menjamin mereka memiliki kompetensi keguruan yang memadai? Kemampuan profesionalitas guru, misalnya menyangkut pemahaman dan pengembangan peserta didik, tidak bisa dilakukan secara terpisah dari anak didik itu sendiri, juga tidak bisa  terpisah dari karakteristik bidang studi, apalagi hanya dengan program sertifikasi dan lisensi dalam waktu singkat.  (2)  Siapa yang berwenang menyelenggarakan program lisensi dan sertifikasi guru itu, apakah badan itu bisa dijamin kredibilitasnya, apakah potensi membuka lahan baru bagi tindak penyelewengan malah lebih besar, dibandingkan manfaat peningkatan kualitas profesionalitas guru yang diharapkan?  (3)  Jika sertifikasi dilakukan oleh suatu badan nasional, dengan standar nasional pula, bukankan hal ini bertentangan dengan semangat otonomi pendidikan? Di samping itu, besar kemungkinan kompetensi guru yang direkomendasikan di tingkat nasional, belum tentu cocok atau dibutuhkan di daerah.  (4)  Jika dilakukan resertifikasi kembali terhadap guru-guru sekarang, maka dapat dipastikan, bahwa sebagian guru akan lulus, dan sebagian guru tidak lulus sehingga harus dilakukan tindakan bagi mereka. Tindakan pendidikan dan pelatihan kembali akan sangat mahal, baik dari (a) segi biaya penyelenggaraan, (b) pelaksanaan tugas guru di kelas bisa  terabaikan dan siswa menjadi korban. Terus bagaimana pula nasib guru yang setelah pendidikan dan pelatihan ternyata belum lulus atau belum memenuhi standar kompetensi yang diharapkan? (Jumlah ini bisa banyak sekali, karena kecenderungan guru senior akan bersifat retensif terhadap program ini).  Jika diberhentikan, siapkah pemerintah menggantinya? Atau dianggap lulus saja semua, dan program resertifikasi menjadi sia-sia?
Tentu banyak pertanyaan yang bisa diajukan dan perdebatan pun masih bisa dilanjutkan, tetapi yang jelas Depdiknas, dalam hal ini tampaknya telah mempersiapkan langkah-langkah ke arah implementasi program itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, dari rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Prof. Sukamto selaku direktur P2TK Dirjen Dikti, juga oleh Ditjen Dikdasmen, Bapak Indrajati Sidi dalam berbagai kesempatan. Hal konkret menyangkut pola pengembangan tenaga kependidikan terintegrasi telah dan sedang dilakukan di pusat, yang mereka sebut sebagai Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan (SPTK), misalnya terdiri atas (a) pengembangan kurikulum-KBK yang berbasis (standar) kompetensi, (b) Standar Minimum Laboratorium LPTK, Pengembangan Staf, PTK, RII, (c) Standar Kompetensi Guru Pemula (Standar Kompetensi Lulusan LPTK), Pedoman Sertifikasi Kompetensi, dan lain sebagainya.
Terlepas dari kenyataan bahwa beragamnya pemahaman  tentang dimensi  kompetensi profesional guru, serta adanya kontroversi berkaitan dengan wacana  program sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru di Indonesia, perlu kiranya disepakati bahwa segala wacana reformasi yang mengarah pada perbaikan kualitas profesionalitas guru perlu didukung dengan penuh. Untuk itu, LPTK sebagai lembaga “pencetak“ guru harus memandang wacana ini sebagai tantangan untuk  bergegas menjemput bola perubahan itu, misalnya dengan melakukan konsulidasi dan penataan manajemen peningkatan mutu dan relevansi terhadap semua program pendidikan guru yang dimilikinya, dari tingkat jurusan sampai dengan tingkat lembaga yang melibatkan semua unit dan staf pimpinan dengan satu tujuan, yaitu membangun LPTK yang dapat menghasilkan tenaga kependidikan yang mampu  menghadapi dan memenangkan persaingan yang semakin ketat di masa datang, terutama persaingan yang berkaitan dengan program sertifikasi kompetensi keguruan. LPTK perlu bergegas untuk menyusun profil standar kompetensi lulusannya, yang bersifat dinamik,  sebagai pedoman bersama dalam mengembangkan segala aktivitas instruksional yang mengacu pada peningkatan daya saing lulusannya. Adanya  pemahaman bersama tentang standar kompetensi lulusan guru akan memberikan manfaat dalam (1) pengembangan kurikulum  program studi/jurusan, (2) penyediaan sarana dan prasarana pendukung perkuliahan, dan (3) pemberian izasah atau sertifikat kompetensi.

3. Penutup
Hal itu disepakati, bahwa reformasi pendidikan harus menyentuh reformasi pendidikan guru, karena guru memegang peran sentral dalam seluruh rangkaian pendidikan. Dapat pula dipahami bahwa reformasi pendidikan guru harus tertuju pada usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Namun, pemahaman tentang profesionalisme guru dan indikatornya sangat beragam. Wacana tentang program sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru dalam rangka meningkatkan profesionalitas kinerja guru, masih kontroversial. Apalagi jika wacana tersebut dihadapkan dengan masalah-masalah realitas yang dihadapi guru-guru di Indonesia, seperti masalah kekurangan guru, tidak meratanya penyebaran guru, kurangnya sarana pendukung aktivitas guru di kelas, serta rendahnya penghargaan dan gaji guru, dan sebagainya.
Walaupun demikian, sikap positif  tetap perlu dikembangkan untuk mendukung setiap usaha peningkatan profesionalisme guru. LPTK sebagai pendidik guru, misalnya dapat meletakkan dasar awal, dengan selalu memacu inovasi-inovasi yang mengarah kepada peningkatan kompetensi calon-calon guru, misalnya dengan (1) mengembangkan silabus perkuliahan yang memberikan bobot berimbang antara teori dan praktik, yang berorintasi pada pencapaian  standar kompetensi guru yang berkualitas;  (2) merumuskan indikator-indikator secara jelas dan terukur yang mencerminkan pencapaian standar kompetensi lulusan calon guru tersebut;  (3)  mengembangkan sistem asesmen dan evaluasi yang sistematik untuk mengukur pencapaian kompetensi yaitu pencapaian standar kompetensi lulusan calon guru;  (4)  memperkenalkan mahasiswa calon guru secara dini dan berkelanjutan terhadap dinamika kehidupan peserta didik dan budaya sekolah;  (5)  memanfaatkan hasil-hasil penelitian, dan kajian konseptual inovatif untuk meningkatkan kualitas perkuliahan, dengan mencermati atau mengadopsi berbagai isu inovasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi, misalnya mengembangkan model-model perkuliahan inovatif yang berbasis aktvitas mahasiswa. 

DAFTAR PUSTAKA


Depdiknas. 2002.  Pola Kebijakan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.

Depdiknas. 2004. Draft Naskah Akademik Sertifikasi Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.

Depdiknas.2004. Draf Standar Kompetensi Lulusan PGSMP/SMA. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.
Depdiknas.2004. Standarisasi Kompetensi Guru. Tersedia online pada: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm. 
Depdiknas.2004. Pengembangan Profesi Guru SMK. Tersedia online pada  http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm. 
Depdiknas.2004.   Peningkatan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru. Tersedia online pada di http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/ SENTRA1/F31.html. 
Depdiknas.2004. Pengendalian Tenaga Kependidikan.  Tersedia online pada: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm. 
DIKTI, (2003). Higher Education Long Term Strategy.
Marsh.Collin,  1996.  Handbook for Beginning Teachers. Sydney: Longman
Mendiknas, 1998. Keputusan Meneri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 013/U/1998, Tentang Program Pembentukan Kemampuan Mengajar.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com