Sunday, 11 January 2015

MANAJEMEN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PROGRAM SERTIFIKASI GURU



Pendahuluan
    Profesionalisme guru di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sering dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan profesi. Ketiga hal ini nampaknya menjadi diterminan kualitas pendidikan. Guru profesional adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV, memiliki kompetensi untuk melaksanakan fungsi sebagai agen pembelajaran dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompeten, diberikan sertifikat pendidik, dan diberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
    Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Secara formal guru yang telah tersertifikasi, diasumsikan telah memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi. Kompetensi yang dimaksud mencakup kompetensi; pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.
    Persoalan yang muncul dan berkembang, adalah bahwa guru yang diasumsikan telah memenuhi kualifikasi akademik dan memiliki kompetensi karena telah tersertifikasi, dalam jangka panjang sulit untuk dipertanggung -jawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat ketika proses sertifikasi berlangsung. Sementara sertifikasi sesungguhnya erat kaitannya dengan proses belajar, sehinga sertifikasi tidak dapat digunakan sebagai asumsi cerminan kompetensi unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi sesungguhnya adalah awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru pasca sertifikasi, diperlukan sistem manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru dan sekaligus peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
    Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas profesi. Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutup kelemahan--kelemahan yang tidak (belum) nampak pada saat seleksi guru maupun calon guru, (3) untuk membangun dan mengembangkan sikap profesional guru, dan (4) mengembangkan kompetensi utuh profesionalisme guru (Santyasa, 2008). Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru, antara lain adalah program (1) pembimbingan dan penugasan, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) studi lanjut, (4) promosi jabatan, (5) konferensi, lokakarya, dan seminar, serta (6) pembinaan melalui kegiatan supervisi pembelajaran.
    Walau guru telah tersertifikasi dan diasumsikan telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan perubahan dan perkembangan pendidikan, guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya. Peningkatan kompetensi tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, tetapi yang lebih penting adalah kemauan diri dan komitmen untuk mau terus menerus melakukan peningkatan kompetensi (Mantja, 2002). Asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi, diharapkan lebih menjadi spring board bagi guru dalam upaya untuk terus menata komitmen melakukan perbaikan diri ke arah peningkatan kompetensi. Peningkatan kompetensi atas dorongan komitmen diri ini selanjutnya diharapkan mampu rneningkatkan keefektifan kinerjanya di sekolah.
     Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa untuk memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya, diperlukan adanya sinergi antara komitmen diri dan sistem manajemen. Sinergi antara komitmen guru dan sistem manajemen diharapkan mampu melahirkan suatu proses kolaborasi yang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru. Berikut dikaji empat dimensi teoretik konseptual sebagai alternatif landasan bagi guru dan lembaga pendidikan dalam kerangka memfasilitasi pengembangan profesionalisme guru. Keempat dimensi yang dimaksud adalah; (1) dukungan kompetensi manajemen, (2) strategi pemberdayaan, (3) supervisi pengembangan, dan (4) penelitian tindakan kelas.
Dukungan Kompetensi Manajemen
    Kompetensi manajemen yang dibutuhkan unruk peningkatan profesionaiisme guru dibedakan atas tiga aras, yaitu (1) manajemen aras kebijakan di tingkat birokrasi dinas pendidikan, (2) manajemen aras sekolah di tingkat kepala sekolah, dan (3) manajemen aras operasional di tingkat guru (Surya Dharma, 2003).     
    Pada aras kebijakan di tingkat dinas pendidikan, menurut Santyarsa (2008) dibutuhkan kompetensi tentang (1) pemikiran strategik (strategic thinking), (2) kepemimpinan yang berubah (change leadership), dan (3) manajemen hubungan (relationship management). Pemikiran strategik merupakan kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan sistem pendidikan yang begitu cepat, peka terhadap kondisi eksternal berupa peluang dan tantangan, memberdayakan potensi internal berbasis kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan yang diterapkan, sehingga mampu mengidentifikasi respons strategik secara optimal. Aspek kepemimpinan yang berubah menunjuk pada kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan strategi organisasi (dinas pendidikan) yang dapat ditransformasikan kepada guru. Sementara kompetensi manajemen hubungan menunjuk pada kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan instansi lain yang terkait, misalnya dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Kompetensi-kompetensi ini diperlukan untuk mendorong peningkatan profesionalisme guru di wilayah tanggungjawab birokrasi dinas pendidikan terkait.
    Pada aras sekolah oleh kepala sekolah, dibutuhkan kompetensi-kompetensi; (1) fleksibilitas, (2) terapan perubahan, (3) pemahaman interpersonal, (4) pemberdayaan, (5) fasilitasi tim, dan (6) portabilitas (Santyarsa, 2008). Aspek fleksibilitas adalah kemampuan melakukan perubahan pada struktur dan proses manajerial sekolah. Aspek terapan perubahan merujuk pada kemampuan untuk melakukan perubahan strategi implementasi kebijakan demi tercapainya keefektifan pelaksanaan tugas sekolah. Aspek pemahaman interpersonal merujuk pada kemampuan untuk memahami nilai berbagai tipe individu guru layaknya sebagai seorang manusia. Aspek pemberdayaan (empowering) adalah kemampuan berbagi informasi, akomodatif terhadap gagasan guru, mengakomodasi kebutuhan guru dalam peningkatan profesionalisme, mendelegasikan tanggung jawab secara proporsional, menyiapkan sarana dan umpan balik yang efektif, menyatakan harapan-harapan yang positif kepada guru dan menyediakan penghargaan bagi peningkatan kinerja guru. Dimensi fasilitasi tim mengarah pada kemampuan untuk menyatukan para guru dalam bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan bersama, temasuk memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam mengatasi konflik yang ada. Dimensi portabilitas adalah kemampuan beradaptasi dan berfungsi secara efektif dengan lingkungan luar sekolah. Kompetensi-kompetensi itu diperlukan untuk mendorong timbulnya motivasi intriksik para guru dan rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam meningkatkan profesionalismenya.
    Pada aras operasional di tingkat personal guru, dibutuhkan kompetensi; (1) fleksibilitas, (2) mencari dan menggunakan informasi, motivasi, dan kemampuan untuk belajar, (3) motivasi berprestasi, (4) motivasi kerja di bawah tekanan waktu, (5) kolaboratif, dan (6) orientasi pelayanan kepada siswa (Santyarsa, 2008). Dimensi fleksibilitas adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi, dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasisme dalam mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal. Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi, perbaikan berkelanjutan baik kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan sesuai dengan tantangan kompetensi. Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi antara fleksibilitas, motivasi berprestasi, menahan stress, dan komitmen untuk meningkatan profesionalisme. Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multidisiplin, menaruh harapan positif kepada kolega lain, pemahaman interpersonal dan komitmen pendidikan. Dimensi keinginan yang besar melayani siswa dengan baik adalah kompetensi yang dibutuhkan oleh guru sebagai konsekuensi berlakunya paradigma custumisation.
Strategi Pemberdayaan
    Dewasa ini guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya yang lebih bersifat physical asset menuju pada paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigrna tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimiliki, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.
    Strategi pemberdayaan adalah salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2003), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikan wewenang dan tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini di satu sisi dapat merupakan proses kaderisasi, dan di sisi lain sekaligus sebagai proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.
    Unkuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan paradigma¬ desire, trust, confident, credibility, accountability, dan communication. Paradigma desire merupakan upaya untuk (a) memberi kesempatan kepada guru mengidentifkasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, c) mendorong terciptanya perspektif baru untuk meningkatkan kinerja guru, dan (d) melatih guru untuk melakukan self-control.
    Paradigma trust mencakup upaya untuk; (a) memberi kesempatan kepada guru berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerjanya.
    Paradigma Confident merupakan upaya untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution.
Beberapa upaya dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peringkat standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru lain untuk rnelakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas.
    Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.
    Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan kebijakan komunikasi buka pintu, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-training.
Supervisi Pengembangan
    Secara umum kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pembelajaran. Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pembelajaran. Para guru diseyogakan berpengharapan agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pembelajaran. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus memiliki kompetensi kepemimpinan pembelajaran, dan memiliki pemahaman yang memadai tentang cara yang tepat dalam melaksanakan supervisi.
    Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan pendekatan supervisi pengembangan (developmental supervision). Pendekatan ini bertolak dari kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dengan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban untuk memahami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan supervisi kepada guru, seyogyanya guru diperhatikan sebagai individu, karena ada perbedaan¬-perbedaan individual dalam perkembangan manusiawinya. Perlakuan ini sangat diperlukan, terlebih jika guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan ini erat kaitannya dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam menjalankan tugas keprofesionalan, yaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks.
    Komitmen guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan mengembangkan profesinya. Komitmen diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, yaitu kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisme. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa.
    Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas kognitif. Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan profesionalisme, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif tinggi.
    Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting, demonstrating, directing, standardizing, reinforcing. Tindakan-¬tindakan ini dilakukan untuk mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran, menetapkan perangkat standar untuk perbaikan pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak, bahwa dalam supervisi direktif, tanggung jawab cenderung lebih banyak pada kepala sekolah dibandingkan dengan tanggung jawab guru.
    Dalam supervisi kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah listening, clarifying, pressenting, problem solving, negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya mendengarkan persepsi guru tentang masalah pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk diterapkan dalam pembelajaran.
    Beranjak dari pemahaman kepala sekolah, bahwa guru mampu berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening, clarifying, encouraging, pressenting, negotiating, accomodating teacher-initiated. Tindakan¬-tindakan tersebut bertolak dari premis, bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah adalah mendengarkan, tidak memberi pertimbangan, membangkitkan kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh informasi dengan tujuan membuka komunikasi. Peranan kepala sekolah sebagai supervisor perkembangan yang melaksanakan tugasnya seperti itu, niscaya akan membuat persepsi guru menjadi lebih positif.
Penelitian Tindakan Kelas sebagai Model Profesionalisasi Guru
    Dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan, merupakan wujud perhatian dan kepedulian birokrasi dan utamanya kepala sekolah terhadap guru di sekolah. Perhatian itu bermuara pada upaya membantu guru dalam meningkatkan profesionalismenya. Guru profesional secara teoretis akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, memberikan layanan pembelajaran kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menantang, dan menyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontiniu melakukan penelitian tindakan kelas atau PTK.
    Secara konseptual PTK adalah langkah reflektif bagi guru terhadap praktik pembelajaran dalam kesehariannya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas praktik pembelajaran, yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan secara umum. PTK adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif mandiri, yang dapat digunakan dalam proses pengembangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas pembelajaran di kelas.
    Menurut Kemmis dan Carr (dalam McNiff, 1992), PTK merupakan bentuk penelitian refleksi diri yang dilakukan oleh guru, siswa, atau kepala sekolah dalam pendidikan untuk memperbaiki dan memahami praktik-praktik pendidikan. Fokus utama PTK adalah mendorong guru terlibat melakukan kegiatan-kegiatan dengan sikap ilmiah, situasional, praktis, empiris, fleksibel, adaptif, partisipatoris, dan self-evaluation.
    Secara rasional PTK memiliki landasan sosial dan landasan kependidikan. Landasan sosial PTK adalah keterlibatan, sedangkan landasan kependidikannya adalah perbaikan. Operasionalisasi PTK menuntut adanya perubahan. PTK mengandung makna tindakan baik terhadap sistem maupun terhadap orang yang ada di dalam sistem itu.
    PTK memiliki prosedur partisipatoris yang efektif digunakan untuk memecahkan masalah-masalah peningkatan hubungan interpersonal, kolaboratif, partisipatif, pengakomodasian, dan demokratis. Tantangan bagi guru adalah bahwa dia harus selalu membangkitkan kesadaran terhadap praktik-praktik pembelajarannya di kelas. PTK merupakan wahana dan sarana untuk meningkatkan strategi belajar mengajar dengan mewajibkan guru untuk selalu sadar, kritis, dan terbuka melakukan perbaikan. Dengan demikian dapat mendorong guru untuk selalu berpikir kritis dan logis terhadap pengetahuan profesionalnya. PTK bersifat sistematis dan fleksibel dengan menyertakan kegiatan perencanaan yang bersifat reflektif, tindakan, pengamatan dan evaluasi, refleksi, dan perencanaan ulang. Proses ini merupakan langkah-langkah yang bersifat siklik atau siklus.
    PTK ini sangat bermanfaat dalam membangun hubungan interpersonal, tipe pembelajaran yang bervariasi, pengukuran bentuk-bentuk wacana kelas, penyelidikan terhadap manusia dengan melakukan komunikasi interpersonal selektif dan langsung. Kesahihan PTK bersifat personal, dan tidak semata-mata menekankan kesahihan metodologis. PTK memberikan kontribusi dalam pernecahan masalah secara empirik dan faktual. PTK dapat digunakan oleh peneliti yang berupaya ingin mengetahui secara sistematis dan terkendali atas praktik-praktik pembelajarannya sendiri. Dengan mengadaptasi pandangan yang humanis dalam penelitian pendidikan, maka peneliti mengubah perilakunya ke dalam suatu penelitian yang lebih manusiawi. PTK memberi bekal kepada guru untuk berpikir secara rasional dan memilih dasar filosofis yang tepat serta metodologis. PTK lebih banyak menekankan partisipasi demokratis.
    PTK terbuka terhadap pengalaman, proses baru, dan bersifat mendidik. Melalui PTK, guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Dalam hal ini, komitmen personal sangat menentukan dengan dasar filosofi bahwa dalam rangka menerima tanggung jawab profesional sebagai pendidik, guru hendaknya terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri. Secara empiris PTK lebih menekankan pada validitas dan reliabilitas data. Paham ini lebih menekankan pada pendekatan etik, sehingga guru tidak diberitahukan mengenai metode, tujuan, dan alasan penelitian. Penelitian tidak menekankan pengumpulan dan analisis data secara statistik. Isu yang diteliti tidak terfokus pada perkembangan personal. Secara interpretatif PTK bersifat sosiologis yang lebih menekankan kesamaan interpretasi antara guru sebagai aktor dan peneliti sebagai pengamat. Tradisi ini menggunakan pendekatan emic yang lebih bersifat kualitatif (Glaser dan Straus dalam McNeiff, 1992b).
    Berdasarkan uraian di atas, para guru diseyogyakan untuk melakukan PTK seeara berkesinambungan. Praktik pembelajaran yang dikritisi dengan kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan melalui PTK, secara bertahap akan meningkatkan profesionalisme guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005; McNeiff, 1992). Hal ini dapat terjadi karena PTK dapat membantu guru, dalam; (l) pengembangan kompetensi melalui penyelesaian masalah pembelajaran yang mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas baik yang menyangkut proses maupun hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru. PTK merupakan cara guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan pengalaman sendiri maupun pengalaman berkolaborasi dengan guru lain.
    PTK adalah suatu metode untuk memberdayakan guru agar mampu mendukung kinerja kreatif sekolah. PTK merupakan wahana bagi guru dalam melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam upaya memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002) menyatakan bahwa, PTK dapat mengarahkan guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain. Di samping itu PTK juga dapat mendorong guru ntuk melakukan refleksi terhadap praktik pernbelajarannya dan untuk membangun pemahaman yang mendalam, serta mengembangkan hubungan personal dan sosial antar guru. PTK dapat memfasilitasi guru dalam mengembangkan pemahaman tentang pedagogi untuk memperbaiki pemberlajarannya (Whitehead, 1993). Dengan demikian jelas bahwa penerapan PTK scara baik dan benar dalam pembelajaran akan dapat meningkatkan profesionalisme guru.
    Berkaitan dengan perolehan belajar siswa, PTK berpotensi meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan perolehan belajar konseptual dan praktikal siswa, memperbaiki perilaku belajar siswa, bahkan menumbuhkan kepedulian siswa terhadap pemeliharaan perolehan belajar. Di samping dapat meningkatkan keterampilan berpikir reflektif dan kritis, menurut Webster (2003) PTK berpotensi meningkatkan keterampilan-keterampilan siswa dalam pemecahan masalah, komunikasi, menulis, pemahaman, dan pengorganisasian gagasan.
Kesimpulan
    Program sertifikasi guru adalah upaya pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru berkualitas dan berkompetensi. Guru profesional yang dinyatakan dalam bentuk pemberian sertifakat pendidik, merupakan dasar untuk memberikan tunjangan profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru profesional.
    Untuk menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme secara berkesinambungan. Secara preskriptif dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru. Dukungan kampetensi manajemen diperankan oleh dinas pendidikan dan kepala sekolah. Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik, bahwa guru yang harus berkembang secara profesional, pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya itu secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan tidak lebih dari sebatas fasilitasi dan pijakan bagi guru dalam membangun komitmen. Sedangkan pelaksanaan penelitian tindakan kelas merupakan wujud kesadaran guru berbasis refleksi diri untuk meningkatkan profesionalismenya. Dukungan kebijakan dinas pendidikan dan kepala sekolah, diperlukan dalam meningkatkan keefektifan pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh guru.

Daftar Rujukan
Kirkey, T. L. 2005. Differentiated instruction and enrichment opportunities: An action research report. http: //www. nipissingu. caloarlFDFSlY833E. pdf. Mantja, W. 2002.
Manajemen pendidikan dan supervisi pembelajaran. Malang: Wineka Media. McNiff, J. 1992
(a). Action research: Principles and practice. London: Routledge. McNiff, J. 1992
(b). Action research for professional development: Concise advise for new action research. http://www.ieanmcneiff.com/bookletl.html. Ryan, T. G. 2002. Action research: Collecting and analyzing data. http://www. nipissingu.ca.oar/Reports/reports and document-Thomas G Ryan%20.pdf. Stringer, R. T. 1996.
Action research: A handbook for practitioners. London: International Educational and Profesional Publisher. Santyarsa, I Wayan. 2008.
“Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan Profesionalisme Guru”. http://www.koranpendidikan.com/artikel-8095.pdf. Surya Dharma. 2003.
Pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 105-120. Yogyakarta: Amara Book. Wahibur Rokhman, J. 2003.
Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book. Wideman, R., Delong, J., Morgan, D., & Hallett, K. 2003.
An action research approach to improving student learning using provincial test results. Tersedia pada httpa/www. educ.queensu.ca/-ar/reports/Jwebster.pdf. Diakses pada tanggal 25 Juni 2007.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

0 komentar:

Post a Comment