Menurut Anda bagaimana mutu pendidikan di Indonesia saat ini ? Pemahaman dan pandangan tentang mutu pendidikan
selama ini sangat beragam. Orangtua memandang pendidikan yang bermutu
sebagai lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan
genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah, dan seterusnya.
Para ilmuwan memandang pendidikan bermutu sebagai sekolah yang
siswanya banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di
tingkat nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai
pandangan yang berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang
memberikan mata pelajaran bahasa asing bagi anak-anaknya. Orang kaya
tentu memiliki pandangan yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu
adalah pendidikan yang diperoleh anaknya dengan membayar uang sekolah
yang setinggi langit untuk memperoleh berbagai paket kegiatan
ekstrakurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah telah
lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas
unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga
muncul bak jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day school,
sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam, dan sekolah
berwawasan internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan
aspek mutu pendidikan yang akan diraihnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya pendidikan yang bermutu
tersebut? Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan secara sekilas
tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi mutu pendidikan. Uraian tentang dimensi mutu pendidikan itu tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005
atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun,
UNESCO menerbitkan laporan tentang perkembangan pendidikan, baik
pendidikan formal dan pendidikan informal, di berbagai belahan dunia.
Berdasarkan diagram tersebut, tampak bahwa setidaknya ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan.
Pertama, karakteristik pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning)
terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta
didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak
anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif,
misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga
pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia
dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal
yang mempengaruhi mutu pendidikan.
Kedua, pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan
yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal.
Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan
lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes).
Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman
jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan
bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga
yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan
laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan
lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah.
Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities).
Singkat kata, mutu SDM yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas
sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap
mutu pendidikan.
Ketiga, proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box)
masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama
pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu
peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik, siapa yang
akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa
kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses
belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang
kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu
belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik,
bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik
dalam satu kelas.
Ruang kelas di Indonesia sangat kering dengan media dan alat
peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering menyebutkan
bahwa ruang kelas kita ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika
diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka
bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut.
Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini.
Proses belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari
penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari
penggunaan media dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat
diterka, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi standar mutu yang
ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar mengajar di
dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni kualifikasi dan
kompetensi guru. Setengah guru kita belum memenuhi standar kualifikasi.
Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak
layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa semua masalah bersumber dari masalah kesejahteraan.
Memang, kesejahteraan guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat
disebut sebagai profesi, selain (1) memerlukan keahlian, (2) keahlian
itu diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan, (3) keahlian itu
diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi profesi, (5) keahlian yang
dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai (Suparlan, 2006).
Keempat, hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua
pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak
tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan
yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan
ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap
lulusan yang siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran
lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan.
Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan social intelligences),
nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai
macam kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya
sumbangan paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya
untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya” (Daniel
Goleman, 2002: 49, dalam Suparlan, 2004: 39). Hasil belajar yang akan
dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya, sesuai dengan bakat
dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya, di samping
juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk
memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam
perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan
istilah 3H (head, heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang
mengingatkan bahwa “Dari pohon rambutan jangan diminta berbuah mangga,
tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu menghasilkan buah mangga yang
manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada dadarnya untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional “…. berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Kelima, konteks (contexts) atau lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:
- Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
- Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
- Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
- PUBLIC RESOURCES AVAILABLE FOR EDUCATION atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
- Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
- National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
- Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
- Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
- PARENTAL SUPPORT atau dukungan orangtua atau keluarga.
- Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah dan PR.
- National standards atau standar-standar nasional.
- PUBLIC EXPECTATIONS atau harapan masyarakat.
- Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
- Globalization atau globalisasi.
Pada awalnya, peran orangtua (rumah) dan keluarga belum
dipandang sebagai dimensi yang benar-benar berpengaruh terhadap mutu
pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian tentang
sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan
masyarakat menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.
Hasil lima kajian tentang sekolah efektif menjelaskan tentang
faktor-faktor dalam sekolah efektif dapat dijelaskan dalam tabel
berikut:
Tabel 1 Hasil Lima Studi Tentang Sekolah Efektif
Purkey & Smith,
1983
|
Levine & Lezotte, 1990
|
Scheerens,
1992
|
Cotton,
1995
|
Sammons, Hillman & Mortimore, 1995
|
· Strong leadership | · Outstanding leadership | · Educational leadership | · School management and organization, leadership and school inprovement, leadership and planning | · Professional leadership |
· Clear goals on basic skills | · Focus on central learning skills | · - | · Planning and learning goals and school-wide emphasis on learning | · Concentration on teaching and learning |
· Orderly climate, achievement-oriented policy, cooperative atmosphere | · Productive climate and culture | · Pressure to achieve, consensus, cooperative planning, orderly atmosphere | · Planning and learning goals, curriculum planning and development | · Shared vision and goals, a learning environment, positive reinforcement |
· High expectations | · High expectations | · - | · Strong teacher-student interaction | · High expectation |
· Frequent evaluation | · Appropriate monitoring | · Evaluative potential of the school, monitoring of pupil progress | · Assessment (district, school, classroom level) | · Monitoring progress |
· Time on task, reinforcement, streaming | · Effective instructional arrangements | · Structured teaching, effective learning time, opportunity to learn | · Classroom management, organization and instruction | · Purposeful teaching |
· In-service training/ staff development | · Practice-oriented staff development | · - | · Professional development and collegial learning | · A learning organization |
· - | · Slient parental involvement | · Parent support | · Parent-community involvement | · Home-school partnership |
· - | · - |
· External stimuli to make schools effective · Phisical and material school characteristics · Teacher experience · School context characteristics |
· Distinct school interactions · Equity · Special programmes |
· Pupil rights and responsibilities |
Sumber: EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66
Tabel tersebut menjelaskan bahwa salah satu faktor sekolah
efektif dikenal sebagai ‘keterlibatan orangtua’, ‘dukungan orangtua’,
‘keterlibatan orangtua-msyarakat’, atau ‘hubungan keluarga-sekolah’.
Dari beberapa faktor sekolah efektif tersebut, hasil studi di negara
maju menunjukkan adanya lima faktor yang paling berpengaruh terhadap
efektivitas suatu sekolah (EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66), yaitu:
- strong eduational leadership -> terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan (masukan);
- emphasis on acquiring basic skills -> terkait dengan kurikulum (masukan;
- an orderly and secure environment -> terkait dengan konteks (lingkungan);
- high expectations of pupil attainment -> terkait dengan peserta didik (masukan kasar);
- frequent assessment of pupil progress -> terkait dengan proses belajar-mengajar (proses).
Apabila dikaitkan antara kelima faktor sekolah efektif
tersebu dengan lima dimensi mutu pendidikan yang telah dijelaskan
sebelumnya, tampak nyata bahwa kelima faktor tersebut dalam tulisan ini
juga dikenal sebagai dimensi-dimensi mutu pendidikan.
Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa sekolah efektif tidak lain
dan tidak bukan adalah juga sebutan untuk pendidikan yang bermutu.
Sudah tentu juga ditambah dengan faktor-faktor sekolah efektif lainnya,
termasuk peran dan dukungan orangtua dan masyarakat, yang diwadahi
dalam lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di muka, dapatlah
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) mutu pendidikan
memiliki lima dimensi yang saling terkait, (2) lima dimensi mutu
pendidikan pada hakikatnya juga merupakan faktor-faktor yang membentuk
sekolah efektif, (3) sekolah yang efektif, dengan kata lain, dapat
disebut sebagai sekolah yang bermutu, (3) dukungan orangtua dan
masyarakat terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan disalurkan
melalui wadah lembaga sosial yang kini dikenal dengan Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah.
Jakarta, 21 Februari 2007.
Bahan Pustaka
Dedi Supriadi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya Sejak Zaman Penjajahan Hingga Era Reformasi. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan.
Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.
http://www.suparlan.com
http://www.swopnet.com
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat.
0 komentar:
Post a Comment