Sunday, 11 January 2015

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PROGRAM STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI KOMPETENSI GURU



ABSTRAK

Reformasi pendidikan terus bergulir. Beberapa wacana baru telah dilontarkan  oleh Depdiknas dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas tenaga kependidikan. Wacana tersebut meliputi paradigma baru dalam peningkatan profesionalisme guru, terutama yang berkaitan dengan (a) pengembangan standarisasi kompetensi guru, (b) pelaksanaan sertifikasi dan resertifikasi kompentensi guru, serta (c) pemberian lisensi bagi tenaga kependidikan. Terlepas dari maksud baik pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan profesionalisme guru, termasuk untuk mereposisikan guru sebagai suatu profesi yang bermartabat, terdapat beberapa hal mendasar   yang harus dicermati, yaitu  (1) pengertian dan dimensi tentang profesionalisme guru dan indikator-indikatornya masih kabur, (2) Konsep dan kerangka implementasi wacana program sertifikasi dan resertifikasi profesi guru belum jelas. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, tujuan dari artikel ini adalah untuk membahas secara kritis tentang (1) pengertian dan dimensi profesionalisme guru, beserta indikator-indikatornya, dan (2) pemikiran konseptual program standarisasi, sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru, beserta  tantangan implementasinya. Beberapa saran konstruktif tentang pengembangan profesi guru, terutama yang berkaitan dengan program LPTK juga diberikan.

Kata kunci:  Profesionalisme Guru, Standarisasi Kompetensi Guru, Sertifikasi Kompetensi Guru.


1. Pendahuluan
Ada beberapa wacana baru yang telah dicanangkan oleh Depdiknas dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas tenaga kependidikan. Wacana tersebut meliputi paradigma baru dalam (a) pengembangan standarisasi kompetensi guru, (b) pelaksanaan sertifikasi dan resertifikasi kompentensi guru, serta (c) pemberian lisensi bagi tenaga kependidikan.
Jika selama ini lulusan LPTK otomatis mendapatkan sertifikat akta mengajar, dengan demikian otomatis pula berhak menjadi guru, maka kini diwacanakan bahwa suatu saat nanti lulusan LPTK adalah sarjana tenaga kependidikan (misalnya pengembang kurikulum, tenaga administrasi kependidikan, konselor sekolah, pengamat pendidikan, dst.). Sarjana kependidikan, termasuk sarjana nonkependidikan dapat menjadi guru melalui program lisensi dan sertifikasi yang akan dilaksanakan oleh konsorsium nasional yang independen.
Di samping itu, beberapa rekomendasi di tingkat kebijakan telah diberikan, sebagai berikut.  (1) Ditjen Dikdasmen dan Ditjen Dikti secara bersama-sama menentukan Standar Kompetensi memasuki profesi guru dan menerapkannya dalam rekrutmen guru baru.  (2) Pola pembinaan guru di sekolah (in-service training) didasarkan pada hasil audit kompetensi oleh badan yang kompeten dan difasilitasi di tingkat regional.  (3)  Ditjen Dikmenum berkolaborasi dengan LPTK untuk bersama-sama mengembangkan pola program kemitraan yang kontekstual, berkelanjutan (tidak ad-hoc) dan didasarkan atas konsep yang jelas tentang pengembangan profesionalisme guru sepanjang kariernya.  (5)  Perlu ke hati-hatian dalam mengembangkan  program peningkatan mutu guru melalui program S2/S3, antara lain untuk pencegahan potensi dislokasi guru bermutu. Hal ini bisa dilakukan dengan sistem kontrak kerja.  (6)  Penghargaan dan karier guru didasarkan pada kompetensi (merit) agar pendekatan mutu menjadi motivator untuk inovasi dan kegiatan pengembangan diri ataupun kapasitas institusi.  (7)  MGMP dijadikan forum sumber (resources forum) untuk peningkatan dan pengayaan bidang studi, dengan melibatkan nara sumber, teknologi, dan media yang efektif.  (8)  Inovasi dan kegiatan eksperimentasi yang dilakukan di sekolah dikomunikasikan, dan keberhasilannya didiseminasikan dalam bentuk shared best praktices agar ada dokumentasi dan apreasi (Sukamto, 2004).

Sistem Rekrutmen dan Pembinaan Guru
Wacana

Kenyataan
Lisensi dan Sertifikasi Ulang


Pembinaan dan pengembangan dalam konteks pengakuan kompetensi guru sampai pensiun
Sertifikasi oleh Konsorsium Nasional Independen
Induksi
Lisensi
Pengangkatan
Program Pendidikan Guru
Program D2 / S1- LPTK
Entry: Program Bidang Studi (4 tahun)
Ujian Masuk (SPMB) dari SMU sederajat
Sumber: Sukamto (2004)

Terlepas dari maksud baik pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan profesionalisme guru, termasuk untuk mereposisikan guru sebagai suatu profesi yang bermartabat, terdapat beberapa hal mendasar   yang harus dicermati, yaitu  (1) pengertian dan dimensi tentang profesionalisme guru dan indikator-indikatornya masih kabur; (2) konsep dan kerangka implementasi wacana program sertifikasi dan resertifikasi profesi guru belum jelas. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, tujuan dari artikel ini adalah untuk membahas secara kritis tentang (1) pengertian dan dimensi profesionalisme guru, beserta indikator-indikatornya, dan (2) pemikiran konseptual program standarisasi, sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru, beserta  tantangan implementasinya. Beberapa saran konstruktif tentang pengembangan profesi guru, terutama yang berkaitan dengan program LPTK juga diberikan.

2.  Pembahasan
2.1 Dimensi  Profesionalisme Guru dan Indikatornya
Banyak teori dan pemikiran yang berkembang tentang profesionalisme guru. Beberapa pemikiran dari negara maju, seperti dari Australia dan beragam pandangan dari negara-negara bagian di Amerika Serikat, seperti yang dipaparkan dalam Sudarsono (2004), dapat dicermati sebagai berikut.        
Australia misalnya, melalui The National Project on the Quality of Teaching and Learning (NPQTL) pada tahun 1992, menyarankan lima hal tentang kompetensi profesional guru, yaitu (a) mampu mempergunakan dan mengembangkan nilai dan pengetahuan profesional (b) mampu berkomunikasi, berinteraksi dan bekerja dengan siswa dan yang lain, (c) mampu merencanakan dan mengelola proses pembelajaran, (d) mampu memantau kemajuan dan hasil belajar siswa, dan (e) mampu merefleksi, mengevaluasi serta merencanakan program untuk melakukan peningkatan secara berkelanjutan.
Di Amerika terdapat banyak variasi antara negara bagian yang satu dengan yang lainya, tentang pemikiran dimensi profesionalitas guru.  Penilaian dimensi profesionalisme guru seperti berikut.
Florida Education Standards Commission 1994 merumuskan 10 macam kompetensi utama guru, yaitu (a) mendemontrasikan keterampilan profesional dalam mengintegrasikan strategi pembelajaran untuk semua siswa yang merefleksikan kultur, gaya belajar, kebutuhan khusus dan latar belakang sosial - ekonomi siswa; (b) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menggunakan strategi pemebelajaran untuk membantu perkembangan intelektual, sosial, dan pifir siswa; (c) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menjalin hubungan antar pribadi untuk melaksanakan pembelajaran; (d) mendemonstrasikan pemahaman tentang belajar dan perkembangan peserta didik dengan menyediakan lingkungan belajar yang positif untuk mendukung pertumbuhan intelektual, pribadi, dan sosial siswa; (e) mendemonstrasikan keterampilan profesional yang meliputi kemampuan mengidentifikasi dan memilih kebutuhan siswa serta dalam merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi efektivitas pembelajaran dalam suatu lingkungan belajar yang bervariasi; (f) mendemonstrasikan keterampilan dalam mempergunakan tehnik dan strategi yang tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan berfikir evaluatif siswa; (g) mendemonstrasikan keterampilan profesional sebagai praktisioner dalam memprakarsai dan merencanakan serta mengelola peningkatan kualitas secara berkelanjutan dengan tepat, baik untuk siswa ataupun sekolah; (h) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif yang mampu menjaga interaksi sosial, belajar secara kooperatif, dan giat dalam pembelajaran, serta motivasi belajar; (i) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam bekerja dengan berbagai jenis profesi bidang pendidikan, orangtua siswa, dan stakeholder lainnya dalam menyediakan pengalaman pendidikan siswa; (j) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam mempergunakan teknologi sebagai alat untuk merncapai produktivitas yang tinggi baik untuk guru ataupun siswa.
Sementa Salt Lake City (1982) mengembangkan kompetensi guru, yang (a) mampu menentukan standar harapan kinerja siswa dengan melakukan, evaluasi diagnostik, menetapkan standar harapan sesuai dengan jenjangnya, menentukan kebutuhan individual siswa, tujuan harapan untuk pencapaian prestasi siswa, dan melakukan evaluasi, (b) mampu menyediakan lingkungan belajar sesuai dengan ketersediaan sumber personel, ketersediaan berbagai ragam sumber dan materi belajar, organisasi dalam proses belajar, sikap positif terhadap siswa, memberikan contoh sikap bahwa semua siswa dapat belajar, guru menunjukkan sikap antusias dan komitmennya untuk mata pelajaran yang diampunya, dan perilaku siswa yang menggambarkan penerimaan pengalaman belajar, (c) mendemonstrasikan pengawasan siswa dengan tepat dengan memberikan bukti bahwa siswa mengetahui apa yang harus dilakukan, bukti bahwa siswa bekerja melakukan tugasnya, menunjukkan kejujuran, penerimaan, respek dan keluwesan, melakukan pengawasan secara tepat dalam situasi sulit, dan mengantisipasi serta menghindarkan dari krisis, (d) mendemonstrasikan secara tepat strategi pembelajaran dengan tehnik yang tepat, sesuai dengan taraf belajar, menyesuaikan tehnik untuk berbagai gaya belajar, mempergunakan tehnik untuk mengajarkan konsep atau keterampilan khusus, memberikan arahan dengan jelas, padat berisi, dan tepat untuk berbagai taraf belajar, membangun komunikasi dua arah dengan siswa dan mempergunakan umpan-balik untuk menentukan strategi belajar, menunjukkan maksud tujuan yang telah ditentukan dan memberikan bukti efektivitas pembelajaran.
Negara bagian Texas, mengembangkan indikator kompetensi yang mencakup, yakni (a) strategi pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dan berhasil, mengevaluasi dan menyediakan umpan-balik tentang kemajuan siswa selama pembelajaran, (b) organisasi dan manajemen kelas dalam mengorganisasi materi pelajaran dan siswa, memaksimalkan waktu yang tersedia untk pembelajaran, dan mengelola perilaku siswa, (c) penyajian mata pelajaran dengan mengajarkan dan mentransfer pengetahuan, afektif dan psikomotor dalam pembelajaran, (d) menciptakan lingkungan belajar dengan mempergunakan strategi guna memotivasi siswa untuk belajar , dan menjaga lingkungan yang mendukung, (e) mengembangkan profesionalisme dan tanggung jawab dengan merencanakan dan terlibat dalam pengembangan profesionalisme, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orangtua siswa, melaksanakan kebijakan, prosedur operasi, dan ketentuan persyaratan, dan meningkatkan serta mengevaluasi pertumbuhan siswa.
Di  Indonesia pun terdapat variasi rumusan tentang profesionalisme guru, misalnya; Komisi Kurikulum IKIP/FKg/FIP bersama P3G tahun 1982 merumuskan 10 kompetensi guru yang meliputi; (a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan bahan pendalaman materi, (b) mengelola program belajar-mengajar dengan merumuskan tujuan instruksional, mengenal dan dapat menggunakan metode mengajar, memilih dan menyusun prosedur instruksioanl yang tepat, melaksanakan program belajar-mengajar, mengenal kemampuan awal anak didik, merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial, (c) mengelola kelas, mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran dan menciptakan iklim belajar-mengajar yang sesuai, (d) menggunakan media/sumber dengan mengenal, memilih dan menggunakan media, membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana, menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar-mengajar, mengembangkan laboratorium, menggunakan perpustakaan dalam PBM dan menggunakan unit pengajaran mikro dalam program pengalaman lapangan, (e) menguasai landasan kependidikan, (f) mengelola interaksi belajar-mengajar, (g) menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (h) mengenal fungsi dan program bimbingan penyuluhan dengan mengenali fungsi dan program pelayanan bimbingan di sekolah dan menyelenggarakan program pelayanan bimbingan di sekolah, (j) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (k) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Konsorsium Ilmu Pendidikan menuntut  kompetensi guru dalam: (a) memperlihatkan integritas pribadi, (b) memperlihatkan kepemimpinan yang produktif, (c) memahami konsep dasar keilmuan dan mampu berfikir ilmiah, (d) bersikap profesional, (e) memahami siswa dan berperilaku empatik, (f) memahami hakikat dan penyelenggaraan sekolah, (g) memahami proses pengembangan kurikulum, (h) menguasai bahan ajar, (i) mampu merancang program belajar-mengajar, (j) mampu mengaktualkan proses belajar-mengajar secara produktif, (k) mampu menilai proses dan hasil belajar, (l) melaksanakan peranan guru dalam bimbingan, (m) melaksanakan peranan guru dalam penyelenggaraan administrasi sekolah, (n) mampu memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar-mengajar, dan (o) melaksanakan penelitian sederhana untuk mengembangkan dan memperbaiki kemampuannya.
Rumusan kompetensi guru yang paling baru dari Depdiknas (2004)  dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Pembinaan  Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi memuat 4 rumpun kompetensi utama, yaitu (1) penguasaan substansi bidang studi, (2)   pemahaman karakteristik peserta didik, (3)  melaksanakan pembelajaran yang mendidik, dan (4) mengembangkan kepribadian dan meningkatkan komitmen profesional secara berkelanjutan. Berikut ini adalah paparan tentang keempat rumpun kompetensi tersebut, dimodifikasi dari Draf SKGP 2004 oleh Direktorat P2TK dan KPT.
Rumpun Kompetensi Penguasaan Substansi Bidang Studi. Indikator penguasaan bidang studi ini meliputi pemahaman karakteristik dan substansi ilmu sumber bahan ajaran, pemahaman disiplin ilmu yang bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan metodologi ilmu yang bersangkutan untuk memverifikasikan dan memantapkan  pemahaman konsep yang dipelajari, dan penyesuaian substansi ilmu yang bersangkutan  dengan tuntutan dan ruang gerak kurikuler, serta pemahaman tata kerja dan cara pengamanan kegiatan praktik. Hal ini menjadi penting dalam memberikan dasar-dasar pembentukan kompetensi dan profesionalisme guru di sekolah. Dengan menguasai isi bidang studi yang diajarkan guru dapat memilih, menetapkan, dan alternatif strategi berinteraksi dari berbagai sumber belajar yang gayut dengan kompetensi lulusan  yang akan dicapai dalam pembelajaran.
            Pemahaman Karakteristik Peserta Didik. Pemahaman tentang karakteristik peserta didik meliputi pemahaman berbagai ciri peserta didik, pemahaman tahap-tahap perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek dan penerapannya (aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik) dalam mengoptimalkan perkembangan dan pembelajaran peserta didik. Guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sihadapkan pada suatu komunitas individu yang memiliki variasi karakteristik yang sebanding dengan jumlah individu dalam komunitas tersebut. Komunitas yang dimaksud dapat berupa kelompok pebelajar (kelas). Pemahaman terhadap aspek ini oleh para guru menjadi prasyarat dapat melakukan strategi pembimbingan, pelatihan yang  sesuai dengan karkateristik individu pebelajar yang difasilitasi.
Melaksanakan Pembelajaran yang Mendidik. Penguasaan pembelajaran yang mendidik terdiri atas pemahaman konsep dasar proses pendidikan dan pembelajaran bidang studi yang bersangkutan, serta penerapannya dalam pelaksanaan dan pengembangan proses pembelajaran yang mendidik. Ciri pembelajaran yang mendidik adalah  pembelajaran yang dapat mengakomodasi dan memfasilitasi perbedaan perkembangan dan potensi individu secara optimal meliputi semua ranah perkembangan (kognitif, afektif, psikomotorik). Upaya memfasilitasi setiap aspek tersebut dalam pembelajaran selalu mengacu pada pembentukan kemampuan individu yang utuh dalam kompetensi kecakapan hidup yang bermartabat, bermoral, dan bertanggung jawab.
Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan. Pengembangan kepribadian dan keprofesionalan mencakup pengembangan intuisi keagamaan, intuisi kebangsaan yang berkepribadian, sikap dan kemampuan mengaktualisasi diri, serta sikap dan kemampuan mengembangkan profesionalisme kependidikan.
Keempat rumpun kompetensi guru tersebut tertuang dalam SKGP (Standar Kompetensi Guru Pemula) yang dikembangkan sejak tahun 2003 oleh Depdiknas melalui Direktorat P2TK dan KPT, dengan tujuan: (1) mewujudkan standar nasional kompetensi lulusan sebagai guru pemula yang merupakan bagian integral dari standar nasional pendidikan, (2) memberikan acuan dalam merumuskan kriteria, kerangka dasar pengendalian dan penjaminan nasional guru pemula, (3) meningkatkan profesionalisme guru pemula melalui standarisasi secara nasional dengan tetap memperhatikan tuntutan kontekstual.   SKGP ini diharapkan dapat dijadikan  rujukan oleh LPTK dalam rangka: (1) pengembangan kurikulum  program studi/jurusan, (2) penyediaan sarana dan prasarana pendukung perkuliahan, (3) pemberian izasah atau sertifikat kompetensi.
Kompetensi tersebut diperoleh seseorang melalui program pendidikan yang diselenggarakan secara concurrent (terintegrasi) bagi mereka yang sejak awal berkeinginan menjadi guru. Mereka yang setelah lulus dari universitas dalam bidang ilmu murni, kemudian bermaksud menjadi guru, dapat mengambil program akta mengajar atau program pembentukan kemampuan mengajar di LPTK. Program semacam itu disebut consecutive model atau model bersambungan. Kiranya patut direnungkan peringatan yang diberikan oleh tokoh pendidikan yang tidak asing bagi LPTK, yaitu T. Raka Joni (2003) tentang uji akhir penguasaan kompetensi lulusan, beliau mengatakan bahwa tanpa mekanisme uji akhir yang transparan, di negara kita secara dengan sendirinya (by default) mutu lulusan sudah "disertifikasi’ meskipun banyak bernuansa administratif, berupa pengakuan oleh BKN. Selanjutnya dikatakan bahwa sertifikasi formal ini pun sudah menjadi semakin kehilangan gigi, karena sebagai wali amanat masyarakat, pemerintah daerah apa pun alasannya secara de facto tidak lagi terlalu menghiraukan pemenuhan standar mutu itu. Instansi yang menangani kebijakan dan implementasi pembinaan guru, sampai sekarang ini sepertinya belum sepenuhnya menyadari peranan kunci dari standar kompetensi guru (SKG – SD/MI 2003 p.3).
Di samping berbagai uraian tentang konsep kompetensi guru di depan, empat pilar pendidikan yang dianjurkan oleh Komisi Internasional UNESCO, dapat pula dijadikan cerminan dalam merefleksikan kompetensi guru.  Guru hendaknya memiliki kompetensi yang baik dalam merancang dan melaksanakan segala aktivitas pembelajaran  yang dapat memfasilitasi siswa untuk learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Keempat pilar tersebut menuntut  guru untuk bekerja keras dan kreatif, serta   tekun dalam meningkatkan kemampuannya. Lebih jauh, guru akhirnya dituntut untuk belajar sepanjang hayat, berperan lebih aktif dan lebih kreatif, terutama untuk  (1) tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan sebagai produk, tetapi terutama sebagai proses;  (2) memahami disiplin ilmu pengetahuan  sebagai ways of knowing. Karena itu lebih dari sarjana pemakai ilmu pengetahuan tetapi harus menguasai epistimologi dari disiplin ilmu tersebut;  (3)  mengenal peserta didik dalam karakteristiknya sebagai pribadi yang sedang dalam proses perkembangan, baik cara pemikirannya, perkembangan sosial dan emosional, ataupun perkembangan moralnya;  dan (4) memahami pendidikan sebagai proses pembudayaan sehingga mampu memilih model belajar dan sistem evaluasi yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi berbagai kemampuan, nilai, sikap, dalam proses memperlajari berbagai disiplin ilmu.  

2.2  Standarisasi, Sertifikasi dan Resertifikasi Kompetensi Guru
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyiratkan perlunya sertifikasi guru. Disebutkan pula bahwa bahwa guru hendaknya  merupakan sebuah profesi yang menuntut kemampuan profesional, mirip seperti profesi lain, misalnya, dokter, pengacara, serta akuntan.
Di luar negeri,  misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlangsung.  Calon guru belum bisa mengajar bila belum memiliki sertifikat mengajar. Persyaratan ini sama seperti profesi dokter, pengacara, atau profesi lain yang membutuhkan kompetensi khusus yang tidak bisa digantikan orang lain.
Sementara di Indonesia, sampai saat ini tuntutan tentang adanya sertifikasi guru baru merupakan wacana.  Akta mengajar (bisa Akta II, III, dan IV) yang biasanya didapat otomatis setelah menempuh pendidikan keguruan (LPTK) atau mengikuti program akta mengajar secara khusus bagi tamatan non LPTK, masih menjadi izin legal untuk bisa melamar menjadi guru. Program Akta  itu berbeda dari sertifikasi, sebab mendapatkan sertifikasi perlu dilengkapi dengan syarat-syarat keprofesian lainnya, sedangkan Program Akta II, III dan IV sangat melekat dengan produsen yang mengeluarkan calon guru tersebut, yakni universitas yang memiliki fakultas ilmu kependidikan dan pengajaran (dahulu IKIP). Kemudian untuk sertifikasi, dibutuhkan lembaga  khusus untuk menilai apakah kompetensi yang dimiliki seorang calon guru itu  telah layak atau tidak untuk menjadi guru (profesional).  Dengan demikian, tujuan utama sertifikasi adalah untuk menguji apakah guru telah memiliki kemampuan profesional dan akademik yang memadai atau belum. Dengan sertifikasi guru, sekolah bisa membedakan antara guru yang baik, dengan yang belum baik dilihat dari kemampuan profesionalnya.  Keberadaan guru yang telah lulus sertifikasi perlu dipertahankan dan dipromosikan, sedangkan guru yang belum lulus sertifikasi perlu mendapat pembinaan  melalui berbagai program, seperti pelatihan, penataran, bimbingan, atau penyetaraan. Semangat sertifikasi harus diikuti oleh perbaikan sistem pendukung  keprofesian yang lain, seperti, peningkatan sarana pendukung tugas-tugas profesi guru, dan perbaikan kehidupan guru. Sebab, faktor kualitas dan jaminan kehidupan guru itu sendiri tak boleh dilupakan  ketika kualitas profesionalisme guru dituntut.   
Sertifikasi dan uji kompetensi dapat diharapkan   menjadi instrumen untuk standarisasi profesionalisme guru. Hal ini sangat positif, walaupun masih diperlukan kehati-hatian, terutama dalam perencanaan implementasinya.  Depdiknas merumuskan tiga tujuan utama  standardisasi kompetensi guru sebagai berikut.  (1)  Memformulasikan peta kemampuan guru secara nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.  (2)  Memformulasikan peta kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan. (3)  Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan tanggungjawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir tenaga kependidikan yang profesional. 
Diharapkan pula bahwa standarisasi kompetensi guru ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang peta kemampuan guru yang berkelayakan dan tidak berkelayakan baik secara individual, kelompok, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, Regional ataupun Nasional yang dapat diperuntukkan sebagai  (1) bahan perumusan kebijakan program pembinaan, (2) peningkatan kompetensi dan  kualifikasi, melalui diklat-diklat sesuai dengan hasil uji   kompetensi (skill audit), dan (3) peningkatan dan pengembangan karir dan profesi guru (Depdiknas, 2004).
Depdiknas (2004) melalui Direktorat P2TK dan KPT mewacanakan kerangka pelaksanaan sistem sertifikasi kompetensi guru, baik untuk  lulusan S1 kependidikan ataupun lulusan S1 nonkependidikan diwacanakan sebagai berikut.  (1) Lulusan program sarjana kependidikan sudah mengalami pembentukan kompetensi mengajar (PKM). Oleh karena itu, mereka hanya memerlukan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh  pendidikan tinggi yang memiliki Program Pengadaan Tenaga Kependidikan (PPTK) terakreditasi dan ditunjuk oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas, 2004). (2)  Lulusan program sarjana non-kependidikan harus terlebih dahulu mengikuti proses pembentukan kompetensi mengajar (PKM) pada perguruan  tinggi yang memiliki PPTK secara terstruktur. Setelah dinyatakan lulus dalam pembentukan kompetensi mengajar, baru lulusan S1 non-kependidikan boleh mengikuti uji sertifikasi. Sedangkan lulusan program sarjana kependidikan tentu sudah mengalami proses pembentukan kompetensi mengajar (PKM), tetapi tetap diwajibkan mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat kompetensi. (3) Penyelenggaraan program PKM dipersyaratkan berstatus lembaga LPTK yang terakreditasi. Sedangkan untuk pelaksanaan uji kompetensi sebagai bentuk audit atau evaluasi kompetensi mengajar  guru harus dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi yang ditunjuk dan ditetapkan  oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas, 2004).  (4)  Peserta uji kompetensi yang telah dinyatakan lulus, baik yang berasal dari lulusan program sarjana kependidikan ataupun sarjana non-kependidikan diberikan sertifikat kompetensi sebagai bukti yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk melakukan praktik dalam bidang profesi guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. (5)  Peserta uji kompetensi yang berasal dari guru yang sudah melaksanakan tugas dalam interval waktu tertentu (10—15) tahun sebagai bentuk kegiatan penyegaran dan pemutakhiran kembali sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persyaratan dunia kerja. Di samping itu, uji kompetensi juga diperlukan bagi yang tidak melakukan tugas profesinya sebagai guru dalam  jangka waktu tertentu. Bentuk aktivitas uji kompetensi untuk kelompok ini adalah dalam kategori resertifikasi. Termasuk dipersyaratkan mengikuti resertifikasi bagi guru yang ingin menambah  kemampuan dan kewenangan baru (Depdiknas,2004; bandingkan juga dengan Mukadis, 2004).  
  
 2.3 Tantangan dan Implikasi Bagi LPTK
            Beberapa hal yang telah dikemukakan tentang dimensi profesionalitas guru, terutama tentang wacana sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru  masih merupakan wacana yang dapat diperdebatkan, dan sering dipandang beberapa kalangan sebagai isu yang kontroversial, apalagi jika sudah dihadapkan pada masalah implementasi wacana tersebut secara riil di lapangan. Beberapa pertanyaan kritis bisa diajukan sebagai berikut.  (1)  Jika lisensi guru benar-benar dilakukan secara terbuka yang bisa diikuti oleh semua sarjana baik kependidikan, mau pun non-kependidikan, bukankah nasib lulusan LPTK semakin suram? Apakah ini berarti kehancuran total bagi LPTK?, Di pihak lain, jika profesi guru dibuka begitu saja kepada sarjana nonkependidikan plus program lisensi yang dilakukan secara terpisah dari bidang studi itu sendiri untuk mendapat lisensi guru (sertifikasi/akta mengajar), siapa yang menjamin mereka memiliki kompetensi keguruan yang memadai? Kemampuan profesionalitas guru, misalnya menyangkut pemahaman dan pengembangan peserta didik, tidak bisa dilakukan secara terpisah dari anak didik itu sendiri, juga tidak bisa  terpisah dari karakteristik bidang studi, apalagi hanya dengan program sertifikasi dan lisensi dalam waktu singkat.  (2)  Siapa yang berwenang menyelenggarakan program lisensi dan sertifikasi guru itu, apakah badan itu bisa dijamin kredibilitasnya, apakah potensi membuka lahan baru bagi tindak penyelewengan malah lebih besar, dibandingkan manfaat peningkatan kualitas profesionalitas guru yang diharapkan?  (3)  Jika sertifikasi dilakukan oleh suatu badan nasional, dengan standar nasional pula, bukankan hal ini bertentangan dengan semangat otonomi pendidikan? Di samping itu, besar kemungkinan kompetensi guru yang direkomendasikan di tingkat nasional, belum tentu cocok atau dibutuhkan di daerah.  (4)  Jika dilakukan resertifikasi kembali terhadap guru-guru sekarang, maka dapat dipastikan, bahwa sebagian guru akan lulus, dan sebagian guru tidak lulus sehingga harus dilakukan tindakan bagi mereka. Tindakan pendidikan dan pelatihan kembali akan sangat mahal, baik dari (a) segi biaya penyelenggaraan, (b) pelaksanaan tugas guru di kelas bisa  terabaikan dan siswa menjadi korban. Terus bagaimana pula nasib guru yang setelah pendidikan dan pelatihan ternyata belum lulus atau belum memenuhi standar kompetensi yang diharapkan? (Jumlah ini bisa banyak sekali, karena kecenderungan guru senior akan bersifat retensif terhadap program ini).  Jika diberhentikan, siapkah pemerintah menggantinya? Atau dianggap lulus saja semua, dan program resertifikasi menjadi sia-sia?
Tentu banyak pertanyaan yang bisa diajukan dan perdebatan pun masih bisa dilanjutkan, tetapi yang jelas Depdiknas, dalam hal ini tampaknya telah mempersiapkan langkah-langkah ke arah implementasi program itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, dari rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Prof. Sukamto selaku direktur P2TK Dirjen Dikti, juga oleh Ditjen Dikdasmen, Bapak Indrajati Sidi dalam berbagai kesempatan. Hal konkret menyangkut pola pengembangan tenaga kependidikan terintegrasi telah dan sedang dilakukan di pusat, yang mereka sebut sebagai Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan (SPTK), misalnya terdiri atas (a) pengembangan kurikulum-KBK yang berbasis (standar) kompetensi, (b) Standar Minimum Laboratorium LPTK, Pengembangan Staf, PTK, RII, (c) Standar Kompetensi Guru Pemula (Standar Kompetensi Lulusan LPTK), Pedoman Sertifikasi Kompetensi, dan lain sebagainya.
Terlepas dari kenyataan bahwa beragamnya pemahaman  tentang dimensi  kompetensi profesional guru, serta adanya kontroversi berkaitan dengan wacana  program sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru di Indonesia, perlu kiranya disepakati bahwa segala wacana reformasi yang mengarah pada perbaikan kualitas profesionalitas guru perlu didukung dengan penuh. Untuk itu, LPTK sebagai lembaga “pencetak“ guru harus memandang wacana ini sebagai tantangan untuk  bergegas menjemput bola perubahan itu, misalnya dengan melakukan konsulidasi dan penataan manajemen peningkatan mutu dan relevansi terhadap semua program pendidikan guru yang dimilikinya, dari tingkat jurusan sampai dengan tingkat lembaga yang melibatkan semua unit dan staf pimpinan dengan satu tujuan, yaitu membangun LPTK yang dapat menghasilkan tenaga kependidikan yang mampu  menghadapi dan memenangkan persaingan yang semakin ketat di masa datang, terutama persaingan yang berkaitan dengan program sertifikasi kompetensi keguruan. LPTK perlu bergegas untuk menyusun profil standar kompetensi lulusannya, yang bersifat dinamik,  sebagai pedoman bersama dalam mengembangkan segala aktivitas instruksional yang mengacu pada peningkatan daya saing lulusannya. Adanya  pemahaman bersama tentang standar kompetensi lulusan guru akan memberikan manfaat dalam (1) pengembangan kurikulum  program studi/jurusan, (2) penyediaan sarana dan prasarana pendukung perkuliahan, dan (3) pemberian izasah atau sertifikat kompetensi.

3. Penutup
Hal itu disepakati, bahwa reformasi pendidikan harus menyentuh reformasi pendidikan guru, karena guru memegang peran sentral dalam seluruh rangkaian pendidikan. Dapat pula dipahami bahwa reformasi pendidikan guru harus tertuju pada usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Namun, pemahaman tentang profesionalisme guru dan indikatornya sangat beragam. Wacana tentang program sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru dalam rangka meningkatkan profesionalitas kinerja guru, masih kontroversial. Apalagi jika wacana tersebut dihadapkan dengan masalah-masalah realitas yang dihadapi guru-guru di Indonesia, seperti masalah kekurangan guru, tidak meratanya penyebaran guru, kurangnya sarana pendukung aktivitas guru di kelas, serta rendahnya penghargaan dan gaji guru, dan sebagainya.
Walaupun demikian, sikap positif  tetap perlu dikembangkan untuk mendukung setiap usaha peningkatan profesionalisme guru. LPTK sebagai pendidik guru, misalnya dapat meletakkan dasar awal, dengan selalu memacu inovasi-inovasi yang mengarah kepada peningkatan kompetensi calon-calon guru, misalnya dengan (1) mengembangkan silabus perkuliahan yang memberikan bobot berimbang antara teori dan praktik, yang berorintasi pada pencapaian  standar kompetensi guru yang berkualitas;  (2) merumuskan indikator-indikator secara jelas dan terukur yang mencerminkan pencapaian standar kompetensi lulusan calon guru tersebut;  (3)  mengembangkan sistem asesmen dan evaluasi yang sistematik untuk mengukur pencapaian kompetensi yaitu pencapaian standar kompetensi lulusan calon guru;  (4)  memperkenalkan mahasiswa calon guru secara dini dan berkelanjutan terhadap dinamika kehidupan peserta didik dan budaya sekolah;  (5)  memanfaatkan hasil-hasil penelitian, dan kajian konseptual inovatif untuk meningkatkan kualitas perkuliahan, dengan mencermati atau mengadopsi berbagai isu inovasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi, misalnya mengembangkan model-model perkuliahan inovatif yang berbasis aktvitas mahasiswa. 

DAFTAR PUSTAKA


Depdiknas. 2002.  Pola Kebijakan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.

Depdiknas. 2004. Draft Naskah Akademik Sertifikasi Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.

Depdiknas.2004. Draf Standar Kompetensi Lulusan PGSMP/SMA. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.
Depdiknas.2004. Standarisasi Kompetensi Guru. Tersedia online pada: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm. 
Depdiknas.2004. Pengembangan Profesi Guru SMK. Tersedia online pada  http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm. 
Depdiknas.2004.   Peningkatan Kemampuan Profesional dan Kesejahteraan Guru. Tersedia online pada di http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/ SENTRA1/F31.html. 
Depdiknas.2004. Pengendalian Tenaga Kependidikan.  Tersedia online pada: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm. 
DIKTI, (2003). Higher Education Long Term Strategy.
Marsh.Collin,  1996.  Handbook for Beginning Teachers. Sydney: Longman
Mendiknas, 1998. Keputusan Meneri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 013/U/1998, Tentang Program Pembentukan Kemampuan Mengajar.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

0 komentar:

Post a Comment