ABSTRAK
Reformasi pendidikan terus bergulir. Beberapa
wacana baru telah dilontarkan oleh
Depdiknas dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas tenaga kependidikan.
Wacana tersebut meliputi paradigma baru dalam peningkatan profesionalisme guru,
terutama yang berkaitan dengan (a) pengembangan standarisasi kompetensi guru,
(b) pelaksanaan sertifikasi dan resertifikasi kompentensi guru, serta (c)
pemberian lisensi bagi tenaga kependidikan. Terlepas dari maksud baik
pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan profesionalisme guru, termasuk untuk
mereposisikan guru sebagai suatu profesi yang bermartabat, terdapat beberapa
hal mendasar yang harus dicermati,
yaitu (1) pengertian dan dimensi tentang
profesionalisme guru dan indikator-indikatornya masih kabur, (2) Konsep dan
kerangka implementasi wacana program sertifikasi dan resertifikasi profesi guru
belum jelas. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, tujuan dari artikel ini
adalah untuk membahas secara kritis tentang (1) pengertian dan dimensi
profesionalisme guru, beserta indikator-indikatornya, dan (2) pemikiran
konseptual program standarisasi, sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru,
beserta tantangan implementasinya. Beberapa saran konstruktif tentang
pengembangan profesi guru, terutama yang berkaitan dengan program LPTK juga diberikan.
Kata kunci: Profesionalisme Guru, Standarisasi Kompetensi
Guru, Sertifikasi Kompetensi Guru.
1. Pendahuluan
Ada beberapa wacana baru yang telah
dicanangkan oleh Depdiknas dalam rangka penyiapan dan peningkatan kualitas
tenaga kependidikan. Wacana tersebut meliputi paradigma baru dalam (a)
pengembangan standarisasi kompetensi guru, (b) pelaksanaan sertifikasi dan
resertifikasi kompentensi guru, serta (c) pemberian lisensi bagi tenaga
kependidikan.
Jika selama ini lulusan LPTK otomatis mendapatkan
sertifikat akta mengajar, dengan demikian otomatis pula berhak menjadi guru,
maka kini diwacanakan bahwa suatu saat nanti lulusan LPTK adalah sarjana tenaga
kependidikan (misalnya pengembang kurikulum, tenaga administrasi kependidikan,
konselor sekolah, pengamat pendidikan, dst.). Sarjana kependidikan, termasuk
sarjana nonkependidikan dapat menjadi guru melalui program lisensi dan
sertifikasi yang akan dilaksanakan oleh konsorsium nasional yang independen.
Di samping itu, beberapa
rekomendasi di tingkat kebijakan telah diberikan, sebagai berikut. (1) Ditjen Dikdasmen dan Ditjen Dikti secara
bersama-sama menentukan Standar Kompetensi memasuki profesi guru dan
menerapkannya dalam rekrutmen guru baru.
(2) Pola pembinaan guru di sekolah (in-service training)
didasarkan pada hasil audit kompetensi oleh badan yang kompeten dan
difasilitasi di tingkat regional.
(3) Ditjen Dikmenum berkolaborasi
dengan LPTK untuk bersama-sama mengembangkan pola program kemitraan yang
kontekstual, berkelanjutan (tidak ad-hoc) dan didasarkan atas konsep yang jelas
tentang pengembangan profesionalisme guru sepanjang kariernya. (5) Perlu ke hati-hatian dalam mengembangkan program peningkatan mutu guru melalui program
S2/S3, antara lain untuk pencegahan potensi dislokasi guru bermutu. Hal ini bisa dilakukan dengan sistem
kontrak kerja. (6) Penghargaan dan karier guru didasarkan pada
kompetensi (merit) agar pendekatan mutu menjadi motivator untuk inovasi
dan kegiatan pengembangan diri ataupun kapasitas institusi. (7)
MGMP dijadikan forum sumber (resources forum) untuk peningkatan
dan pengayaan bidang studi, dengan melibatkan nara sumber, teknologi, dan media
yang efektif. (8) Inovasi dan kegiatan eksperimentasi yang
dilakukan di sekolah dikomunikasikan, dan keberhasilannya didiseminasikan dalam
bentuk shared best praktices agar ada dokumentasi dan apreasi (Sukamto,
2004).
Sistem Rekrutmen dan Pembinaan Guru
|
||
Wacana
|
Kenyataan
|
|
Lisensi dan Sertifikasi Ulang
|
Pembinaan dan pengembangan dalam konteks pengakuan
kompetensi guru sampai pensiun
|
|
Sertifikasi oleh Konsorsium Nasional Independen
|
||
Induksi
|
||
Lisensi
|
Pengangkatan
|
|
Program Pendidikan Guru
|
Program D2 / S1- LPTK
|
|
Entry: Program Bidang Studi (4 tahun)
|
Ujian Masuk (SPMB) dari SMU sederajat
|
|
Sumber: Sukamto (2004)
|
Terlepas dari maksud baik
pemerintah (Depdiknas) untuk meningkatkan profesionalisme guru, termasuk untuk
mereposisikan guru sebagai suatu profesi yang bermartabat, terdapat beberapa
hal mendasar yang harus dicermati, yaitu (1) pengertian dan dimensi tentang
profesionalisme guru dan indikator-indikatornya masih kabur; (2) konsep dan
kerangka implementasi wacana program sertifikasi dan resertifikasi profesi guru
belum jelas. Berkaitan dengan kedua hal tersebut, tujuan dari artikel ini
adalah untuk membahas secara kritis tentang (1) pengertian dan dimensi
profesionalisme guru, beserta indikator-indikatornya, dan (2) pemikiran
konseptual program standarisasi, sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru,
beserta tantangan implementasinya. Beberapa saran konstruktif tentang
pengembangan profesi guru, terutama yang berkaitan dengan program LPTK juga
diberikan.
2.
Pembahasan
2.1 Dimensi Profesionalisme Guru dan Indikatornya
Banyak teori dan pemikiran
yang berkembang tentang profesionalisme guru. Beberapa pemikiran dari negara
maju, seperti dari Australia dan beragam pandangan dari negara-negara bagian di
Amerika Serikat, seperti yang dipaparkan dalam Sudarsono (2004), dapat
dicermati sebagai berikut.
Australia misalnya, melalui
The National Project on the Quality of Teaching and Learning (NPQTL) pada
tahun 1992, menyarankan lima hal tentang kompetensi profesional guru, yaitu (a)
mampu mempergunakan dan mengembangkan nilai dan pengetahuan profesional (b)
mampu berkomunikasi, berinteraksi dan bekerja dengan siswa dan yang lain, (c)
mampu merencanakan dan mengelola proses pembelajaran, (d) mampu memantau
kemajuan dan hasil belajar siswa, dan (e) mampu merefleksi, mengevaluasi serta
merencanakan program untuk melakukan peningkatan secara berkelanjutan.
Di Amerika terdapat banyak
variasi antara negara bagian yang satu dengan yang lainya, tentang pemikiran
dimensi profesionalitas guru. Penilaian
dimensi profesionalisme guru seperti berikut.
Florida Education Standards
Commission 1994
merumuskan 10 macam kompetensi utama guru, yaitu (a) mendemontrasikan
keterampilan profesional dalam mengintegrasikan strategi pembelajaran untuk
semua siswa yang merefleksikan kultur, gaya belajar, kebutuhan khusus dan latar
belakang sosial - ekonomi siswa; (b) mendemonstrasikan keterampilan profesional
dalam menggunakan strategi pemebelajaran untuk membantu perkembangan
intelektual, sosial, dan pifir siswa; (c) mendemonstrasikan keterampilan
profesional dalam menjalin hubungan antar pribadi untuk melaksanakan
pembelajaran; (d) mendemonstrasikan pemahaman tentang belajar dan perkembangan
peserta didik dengan menyediakan lingkungan belajar yang positif untuk
mendukung pertumbuhan intelektual, pribadi, dan sosial siswa; (e)
mendemonstrasikan keterampilan profesional yang meliputi kemampuan
mengidentifikasi dan memilih kebutuhan siswa serta dalam merencanakan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi efektivitas pembelajaran dalam suatu
lingkungan belajar yang bervariasi; (f) mendemonstrasikan keterampilan dalam
mempergunakan tehnik dan strategi yang tepat untuk meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan berfikir
evaluatif siswa; (g) mendemonstrasikan keterampilan profesional sebagai
praktisioner dalam memprakarsai dan merencanakan serta mengelola peningkatan
kualitas secara berkelanjutan dengan tepat, baik untuk siswa ataupun sekolah;
(h) mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam menciptakan lingkungan
belajar yang positif yang mampu menjaga interaksi sosial, belajar secara
kooperatif, dan giat dalam pembelajaran, serta motivasi belajar; (i)
mendemonstrasikan keterampilan profesional dalam bekerja dengan berbagai jenis
profesi bidang pendidikan, orangtua siswa, dan stakeholder lainnya dalam
menyediakan pengalaman pendidikan siswa; (j) mendemonstrasikan keterampilan
profesional dalam mempergunakan teknologi sebagai alat untuk merncapai
produktivitas yang tinggi baik untuk guru ataupun siswa.
Sementa Salt Lake City (1982)
mengembangkan kompetensi guru, yang (a) mampu menentukan standar harapan
kinerja siswa dengan melakukan, evaluasi diagnostik, menetapkan standar harapan
sesuai dengan jenjangnya, menentukan kebutuhan individual siswa, tujuan harapan
untuk pencapaian prestasi siswa, dan melakukan evaluasi, (b) mampu menyediakan
lingkungan belajar sesuai dengan ketersediaan sumber personel, ketersediaan
berbagai ragam sumber dan materi belajar, organisasi dalam proses belajar,
sikap positif terhadap siswa, memberikan contoh sikap bahwa semua siswa dapat
belajar, guru menunjukkan sikap antusias dan komitmennya untuk mata pelajaran
yang diampunya, dan perilaku siswa yang menggambarkan penerimaan pengalaman
belajar, (c) mendemonstrasikan pengawasan siswa dengan tepat dengan memberikan
bukti bahwa siswa mengetahui apa yang harus dilakukan, bukti bahwa siswa bekerja
melakukan tugasnya, menunjukkan kejujuran, penerimaan, respek dan keluwesan,
melakukan pengawasan secara tepat dalam situasi sulit, dan mengantisipasi serta
menghindarkan dari krisis, (d) mendemonstrasikan secara tepat strategi
pembelajaran dengan tehnik yang tepat, sesuai dengan taraf belajar,
menyesuaikan tehnik untuk berbagai gaya belajar, mempergunakan tehnik untuk
mengajarkan konsep atau keterampilan khusus, memberikan arahan dengan jelas,
padat berisi, dan tepat untuk berbagai taraf belajar, membangun komunikasi dua
arah dengan siswa dan mempergunakan umpan-balik untuk menentukan strategi
belajar, menunjukkan maksud tujuan yang telah ditentukan dan memberikan bukti
efektivitas pembelajaran.
Negara bagian Texas,
mengembangkan indikator kompetensi yang mencakup, yakni (a) strategi
pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi
aktif dan berhasil, mengevaluasi dan menyediakan umpan-balik tentang kemajuan
siswa selama pembelajaran, (b) organisasi dan manajemen kelas dalam mengorganisasi
materi pelajaran dan siswa, memaksimalkan waktu yang tersedia untk
pembelajaran, dan mengelola perilaku siswa, (c) penyajian mata pelajaran dengan
mengajarkan dan mentransfer pengetahuan, afektif dan psikomotor dalam
pembelajaran, (d) menciptakan lingkungan belajar dengan mempergunakan strategi
guna memotivasi siswa untuk belajar , dan menjaga lingkungan yang mendukung,
(e) mengembangkan profesionalisme dan tanggung jawab dengan merencanakan dan
terlibat dalam pengembangan profesionalisme, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orangtua siswa, melaksanakan kebijakan, prosedur operasi, dan ketentuan
persyaratan, dan meningkatkan serta mengevaluasi pertumbuhan siswa.
Di Indonesia pun terdapat variasi rumusan
tentang profesionalisme guru, misalnya; Komisi Kurikulum IKIP/FKg/FIP bersama
P3G tahun 1982 merumuskan 10 kompetensi guru yang meliputi; (a) menguasai bahan
bidang studi dalam kurikulum sekolah dan bahan pendalaman materi, (b) mengelola
program belajar-mengajar dengan merumuskan tujuan instruksional, mengenal dan
dapat menggunakan metode mengajar, memilih dan menyusun prosedur instruksioanl
yang tepat, melaksanakan program belajar-mengajar, mengenal kemampuan awal anak
didik, merencanakan dan melaksanakan pengajaran remidial, (c) mengelola kelas,
mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran dan menciptakan iklim
belajar-mengajar yang sesuai, (d) menggunakan media/sumber dengan mengenal,
memilih dan menggunakan media, membuat alat-alat bantu pelajaran sederhana,
menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar-mengajar,
mengembangkan laboratorium, menggunakan perpustakaan dalam PBM dan menggunakan
unit pengajaran mikro dalam program pengalaman lapangan, (e) menguasai landasan
kependidikan, (f) mengelola interaksi belajar-mengajar, (g) menilai prestasi
siswa untuk kepentingan pengajaran, (h) mengenal fungsi dan program bimbingan
penyuluhan dengan mengenali fungsi dan program pelayanan bimbingan di sekolah
dan menyelenggarakan program pelayanan bimbingan di sekolah, (j) mengenal dan menyelenggarakan
administrasi sekolah, dan (k) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil
penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Konsorsium Ilmu Pendidikan
menuntut kompetensi guru dalam: (a)
memperlihatkan integritas pribadi, (b) memperlihatkan kepemimpinan yang
produktif, (c) memahami konsep dasar keilmuan dan mampu berfikir ilmiah, (d)
bersikap profesional, (e) memahami siswa dan berperilaku empatik, (f) memahami
hakikat dan penyelenggaraan sekolah, (g) memahami proses pengembangan kurikulum,
(h) menguasai bahan ajar, (i) mampu merancang program belajar-mengajar, (j)
mampu mengaktualkan proses belajar-mengajar secara produktif, (k) mampu menilai
proses dan hasil belajar, (l) melaksanakan peranan guru dalam bimbingan, (m)
melaksanakan peranan guru dalam penyelenggaraan administrasi sekolah, (n) mampu
memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar-mengajar, dan (o) melaksanakan
penelitian sederhana untuk mengembangkan dan memperbaiki kemampuannya.
Rumusan kompetensi guru yang
paling baru dari Depdiknas (2004) dalam
hal ini diwakili oleh Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi memuat 4
rumpun kompetensi utama, yaitu (1) penguasaan
substansi bidang studi, (2) pemahaman
karakteristik peserta didik, (3)
melaksanakan pembelajaran yang mendidik, dan (4) mengembangkan
kepribadian dan meningkatkan komitmen profesional secara berkelanjutan. Berikut
ini adalah paparan tentang keempat rumpun kompetensi tersebut, dimodifikasi
dari Draf SKGP 2004 oleh Direktorat P2TK dan KPT.
Rumpun Kompetensi
Penguasaan Substansi Bidang Studi. Indikator penguasaan bidang studi ini meliputi pemahaman karakteristik
dan substansi ilmu sumber bahan ajaran, pemahaman disiplin ilmu yang
bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan metodologi ilmu yang
bersangkutan untuk memverifikasikan dan memantapkan pemahaman konsep yang
dipelajari, dan penyesuaian substansi ilmu yang bersangkutan dengan
tuntutan dan ruang gerak kurikuler, serta pemahaman tata kerja dan cara
pengamanan kegiatan praktik. Hal ini menjadi penting dalam memberikan
dasar-dasar pembentukan kompetensi dan profesionalisme guru di sekolah. Dengan
menguasai isi bidang studi yang diajarkan guru dapat memilih, menetapkan, dan
alternatif strategi berinteraksi dari berbagai sumber belajar yang gayut dengan
kompetensi lulusan yang akan dicapai dalam pembelajaran.
Pemahaman Karakteristik Peserta Didik. Pemahaman tentang karakteristik
peserta didik meliputi pemahaman berbagai ciri peserta didik, pemahaman
tahap-tahap perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek dan penerapannya
(aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik) dalam mengoptimalkan
perkembangan dan pembelajaran peserta didik. Guru dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sihadapkan pada suatu komunitas individu yang memiliki variasi
karakteristik yang sebanding dengan jumlah individu dalam komunitas tersebut.
Komunitas yang dimaksud dapat berupa kelompok pebelajar (kelas). Pemahaman
terhadap aspek ini oleh para guru menjadi prasyarat dapat melakukan strategi
pembimbingan, pelatihan yang sesuai dengan karkateristik individu
pebelajar yang difasilitasi.
Melaksanakan
Pembelajaran yang Mendidik. Penguasaan pembelajaran yang mendidik terdiri atas pemahaman konsep
dasar proses pendidikan dan pembelajaran bidang studi yang bersangkutan, serta
penerapannya dalam pelaksanaan dan pengembangan proses pembelajaran yang
mendidik. Ciri pembelajaran yang mendidik adalah pembelajaran yang dapat mengakomodasi dan
memfasilitasi perbedaan perkembangan dan potensi individu secara optimal
meliputi semua ranah perkembangan (kognitif, afektif, psikomotorik). Upaya
memfasilitasi setiap aspek tersebut dalam pembelajaran selalu mengacu pada
pembentukan kemampuan individu yang utuh dalam kompetensi kecakapan hidup yang
bermartabat, bermoral, dan bertanggung jawab.
Pengembangan
Kepribadian dan Keprofesionalan. Pengembangan kepribadian dan keprofesionalan mencakup pengembangan
intuisi keagamaan, intuisi kebangsaan yang berkepribadian, sikap dan kemampuan
mengaktualisasi diri, serta sikap dan kemampuan mengembangkan profesionalisme
kependidikan.
Keempat rumpun
kompetensi guru tersebut tertuang dalam SKGP (Standar Kompetensi Guru Pemula)
yang dikembangkan sejak tahun 2003 oleh Depdiknas melalui Direktorat P2TK dan KPT, dengan tujuan:
(1) mewujudkan standar nasional
kompetensi lulusan sebagai guru pemula yang merupakan bagian integral dari
standar nasional pendidikan, (2) memberikan acuan dalam merumuskan kriteria, kerangka
dasar pengendalian dan penjaminan nasional guru pemula, (3) meningkatkan
profesionalisme guru pemula melalui standarisasi secara nasional dengan tetap
memperhatikan tuntutan kontekstual. SKGP ini diharapkan dapat
dijadikan rujukan oleh LPTK dalam
rangka: (1) pengembangan
kurikulum program studi/jurusan, (2) penyediaan
sarana dan prasarana pendukung perkuliahan, (3) pemberian izasah atau
sertifikat kompetensi.
Kompetensi tersebut diperoleh
seseorang melalui program pendidikan yang diselenggarakan secara concurrent (terintegrasi)
bagi mereka yang sejak awal berkeinginan menjadi guru. Mereka yang setelah
lulus dari universitas dalam bidang ilmu murni, kemudian bermaksud menjadi
guru, dapat mengambil program akta mengajar atau program pembentukan kemampuan
mengajar di LPTK. Program semacam itu disebut consecutive
model atau model bersambungan. Kiranya patut direnungkan peringatan yang
diberikan oleh tokoh pendidikan yang tidak asing bagi LPTK, yaitu T. Raka Joni
(2003) tentang uji akhir penguasaan kompetensi lulusan, beliau mengatakan bahwa
tanpa mekanisme uji akhir yang transparan, di negara kita secara dengan
sendirinya (by default) mutu lulusan sudah "disertifikasi’ meskipun
banyak bernuansa administratif, berupa pengakuan oleh BKN. Selanjutnya
dikatakan bahwa sertifikasi formal ini pun sudah menjadi semakin kehilangan
gigi, karena sebagai wali amanat masyarakat, pemerintah daerah apa pun
alasannya secara de facto tidak lagi terlalu menghiraukan pemenuhan
standar mutu itu. Instansi yang menangani kebijakan dan implementasi pembinaan
guru, sampai sekarang ini sepertinya belum sepenuhnya menyadari peranan kunci
dari standar kompetensi guru (SKG – SD/MI 2003 p.3).
Di samping berbagai uraian tentang konsep kompetensi
guru di depan, empat pilar pendidikan yang dianjurkan oleh Komisi Internasional
UNESCO, dapat pula dijadikan cerminan dalam merefleksikan kompetensi guru. Guru hendaknya memiliki kompetensi yang baik dalam
merancang dan melaksanakan segala aktivitas pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk learning
to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Keempat pilar tersebut menuntut guru untuk bekerja keras dan kreatif,
serta tekun dalam meningkatkan
kemampuannya. Lebih jauh, guru akhirnya dituntut untuk belajar
sepanjang hayat, berperan lebih aktif dan lebih kreatif, terutama untuk (1) tidak hanya
menguasai ilmu pengetahuan sebagai produk, tetapi terutama sebagai proses; (2) memahami disiplin ilmu pengetahuan sebagai ways of knowing. Karena
itu lebih dari sarjana pemakai ilmu pengetahuan tetapi harus menguasai
epistimologi dari disiplin ilmu tersebut;
(3) mengenal peserta didik dalam
karakteristiknya sebagai pribadi yang sedang dalam proses perkembangan, baik
cara pemikirannya, perkembangan sosial dan emosional, ataupun perkembangan
moralnya; dan (4) memahami pendidikan
sebagai proses pembudayaan sehingga mampu memilih model belajar dan sistem
evaluasi yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi berbagai kemampuan,
nilai, sikap, dalam proses memperlajari berbagai disiplin ilmu.
2.2
Standarisasi, Sertifikasi dan Resertifikasi Kompetensi Guru
Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyiratkan perlunya sertifikasi guru.
Disebutkan pula bahwa bahwa guru hendaknya
merupakan sebuah profesi yang menuntut kemampuan profesional, mirip
seperti profesi lain, misalnya, dokter, pengacara, serta akuntan.
Di luar negeri, misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah
lama berlangsung. Calon guru belum bisa
mengajar bila belum memiliki sertifikat mengajar. Persyaratan ini sama seperti
profesi dokter, pengacara, atau profesi lain yang membutuhkan kompetensi khusus
yang tidak bisa digantikan orang lain.
Sementara di
Indonesia, sampai saat ini tuntutan tentang adanya sertifikasi guru baru
merupakan wacana. Akta mengajar (bisa
Akta II, III, dan IV) yang biasanya didapat otomatis setelah menempuh
pendidikan keguruan (LPTK) atau mengikuti program akta mengajar secara khusus
bagi tamatan non LPTK, masih menjadi izin legal untuk bisa melamar menjadi
guru. Program Akta itu berbeda dari sertifikasi, sebab mendapatkan
sertifikasi perlu dilengkapi dengan syarat-syarat keprofesian lainnya,
sedangkan Program Akta II, III dan IV sangat melekat dengan produsen yang
mengeluarkan calon guru tersebut, yakni universitas yang memiliki fakultas ilmu
kependidikan dan pengajaran (dahulu IKIP). Kemudian untuk sertifikasi,
dibutuhkan lembaga khusus untuk menilai
apakah kompetensi yang dimiliki seorang calon guru itu telah layak atau tidak untuk menjadi guru
(profesional). Dengan demikian, tujuan
utama sertifikasi adalah untuk menguji apakah guru telah memiliki kemampuan
profesional dan akademik yang memadai atau belum. Dengan sertifikasi guru,
sekolah bisa membedakan antara guru yang baik, dengan yang belum baik dilihat
dari kemampuan profesionalnya. Keberadaan guru yang telah lulus
sertifikasi perlu dipertahankan dan dipromosikan, sedangkan guru yang belum
lulus sertifikasi perlu mendapat pembinaan
melalui berbagai program, seperti pelatihan,
penataran, bimbingan, atau penyetaraan. Semangat sertifikasi harus
diikuti oleh perbaikan sistem pendukung
keprofesian yang lain, seperti, peningkatan sarana pendukung tugas-tugas
profesi guru, dan perbaikan kehidupan guru. Sebab, faktor kualitas dan jaminan
kehidupan guru itu sendiri tak boleh dilupakan
ketika kualitas profesionalisme guru dituntut.
Sertifikasi dan
uji kompetensi dapat diharapkan menjadi
instrumen untuk standarisasi profesionalisme guru. Hal ini sangat positif,
walaupun masih diperlukan kehati-hatian, terutama dalam perencanaan
implementasinya. Depdiknas merumuskan tiga
tujuan utama standardisasi kompetensi
guru sebagai berikut. (1) Memformulasikan peta kemampuan guru secara
nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan
peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.
(2) Memformulasikan peta
kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan
peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat tenaga
kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan. (3)
Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri,
dan tanggungjawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir
tenaga kependidikan yang profesional.
Diharapkan pula bahwa
standarisasi kompetensi guru ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi
tentang peta kemampuan guru yang berkelayakan dan tidak berkelayakan baik
secara individual, kelompok, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, Regional ataupun
Nasional yang dapat diperuntukkan sebagai
(1) bahan perumusan kebijakan program pembinaan, (2) peningkatan
kompetensi dan kualifikasi, melalui
diklat-diklat sesuai dengan hasil uji kompetensi (skill audit),
dan (3) peningkatan dan pengembangan karir dan profesi guru (Depdiknas, 2004).
Depdiknas (2004) melalui
Direktorat P2TK dan KPT mewacanakan kerangka pelaksanaan sistem sertifikasi
kompetensi guru, baik untuk lulusan S1 kependidikan ataupun lulusan S1
nonkependidikan diwacanakan sebagai berikut.
(1) Lulusan program sarjana kependidikan sudah mengalami pembentukan
kompetensi mengajar (PKM). Oleh karena itu, mereka hanya memerlukan uji
kompetensi yang dilaksanakan oleh
pendidikan tinggi yang memiliki Program Pengadaan Tenaga Kependidikan
(PPTK) terakreditasi dan ditunjuk oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas,
2004). (2) Lulusan program sarjana
non-kependidikan harus terlebih dahulu mengikuti proses pembentukan kompetensi
mengajar (PKM) pada perguruan tinggi yang memiliki PPTK secara
terstruktur. Setelah dinyatakan lulus dalam pembentukan kompetensi mengajar,
baru lulusan S1 non-kependidikan boleh mengikuti uji sertifikasi. Sedangkan
lulusan program sarjana kependidikan tentu sudah mengalami proses pembentukan
kompetensi mengajar (PKM), tetapi tetap diwajibkan mengikuti uji kompetensi
untuk memperoleh sertifikat kompetensi. (3) Penyelenggaraan program PKM dipersyaratkan
berstatus lembaga LPTK yang terakreditasi. Sedangkan untuk pelaksanaan uji
kompetensi sebagai bentuk audit atau evaluasi kompetensi mengajar guru
harus dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas, 2004).
(4) Peserta uji kompetensi yang
telah dinyatakan lulus, baik yang berasal dari lulusan program sarjana
kependidikan ataupun sarjana non-kependidikan diberikan sertifikat kompetensi
sebagai bukti yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk melakukan praktik
dalam bidang profesi guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. (5) Peserta uji kompetensi yang berasal dari guru
yang sudah melaksanakan tugas dalam interval waktu tertentu (10—15) tahun
sebagai bentuk kegiatan penyegaran dan pemutakhiran kembali sesuai dengan
tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persyaratan dunia kerja.
Di samping itu, uji kompetensi juga diperlukan bagi
yang tidak melakukan tugas profesinya sebagai guru dalam jangka waktu
tertentu. Bentuk aktivitas
uji kompetensi untuk kelompok ini adalah dalam kategori resertifikasi. Termasuk
dipersyaratkan mengikuti resertifikasi bagi guru yang ingin menambah
kemampuan dan kewenangan baru (Depdiknas,2004; bandingkan juga dengan
Mukadis, 2004).
2.3
Tantangan dan Implikasi Bagi LPTK
Beberapa
hal yang telah dikemukakan tentang dimensi profesionalitas guru, terutama
tentang wacana sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru masih merupakan wacana yang dapat
diperdebatkan, dan sering dipandang beberapa kalangan sebagai isu yang
kontroversial, apalagi jika sudah dihadapkan pada masalah implementasi wacana
tersebut secara riil di lapangan. Beberapa pertanyaan kritis bisa diajukan sebagai
berikut. (1) Jika lisensi guru benar-benar dilakukan
secara terbuka yang bisa diikuti oleh semua sarjana baik kependidikan, mau pun
non-kependidikan, bukankah nasib lulusan LPTK semakin suram? Apakah ini berarti
kehancuran total bagi LPTK?, Di pihak lain, jika profesi guru dibuka begitu
saja kepada sarjana nonkependidikan plus program lisensi yang dilakukan secara
terpisah dari bidang studi itu sendiri untuk mendapat lisensi guru
(sertifikasi/akta mengajar), siapa yang menjamin mereka memiliki kompetensi
keguruan yang memadai? Kemampuan profesionalitas guru, misalnya menyangkut
pemahaman dan pengembangan peserta didik, tidak bisa dilakukan secara terpisah
dari anak didik itu sendiri, juga tidak bisa
terpisah dari karakteristik bidang studi, apalagi hanya dengan program
sertifikasi dan lisensi dalam waktu singkat.
(2) Siapa yang berwenang
menyelenggarakan program lisensi dan sertifikasi guru itu, apakah badan itu
bisa dijamin kredibilitasnya, apakah potensi membuka lahan baru bagi tindak
penyelewengan malah lebih besar, dibandingkan manfaat peningkatan kualitas
profesionalitas guru yang diharapkan?
(3) Jika sertifikasi dilakukan
oleh suatu badan nasional, dengan standar nasional pula, bukankan hal ini
bertentangan dengan semangat otonomi pendidikan? Di samping itu, besar
kemungkinan kompetensi guru yang direkomendasikan di tingkat nasional, belum
tentu cocok atau dibutuhkan di daerah.
(4) Jika dilakukan resertifikasi
kembali terhadap guru-guru sekarang, maka dapat dipastikan, bahwa sebagian guru
akan lulus, dan sebagian guru tidak lulus sehingga harus dilakukan tindakan
bagi mereka. Tindakan pendidikan dan pelatihan kembali akan sangat mahal, baik
dari (a) segi biaya penyelenggaraan, (b) pelaksanaan tugas guru di kelas
bisa terabaikan dan siswa menjadi
korban. Terus bagaimana pula nasib guru yang setelah pendidikan dan pelatihan
ternyata belum lulus atau belum memenuhi standar kompetensi yang diharapkan?
(Jumlah ini bisa banyak sekali, karena kecenderungan guru senior akan bersifat
retensif terhadap program ini). Jika
diberhentikan, siapkah pemerintah menggantinya? Atau dianggap lulus saja semua,
dan program resertifikasi menjadi sia-sia?
Tentu banyak
pertanyaan yang bisa diajukan dan perdebatan pun masih bisa dilanjutkan, tetapi
yang jelas Depdiknas, dalam hal ini tampaknya telah mempersiapkan
langkah-langkah ke arah implementasi program itu. Hal ini dapat dilihat
misalnya, dari rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Prof. Sukamto selaku
direktur P2TK Dirjen Dikti, juga oleh Ditjen Dikdasmen, Bapak Indrajati Sidi
dalam berbagai kesempatan. Hal konkret menyangkut pola pengembangan tenaga
kependidikan terintegrasi telah dan sedang dilakukan di pusat, yang mereka
sebut sebagai Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan (SPTK), misalnya terdiri
atas (a) pengembangan kurikulum-KBK yang berbasis (standar) kompetensi, (b) Standar
Minimum Laboratorium LPTK, Pengembangan Staf, PTK, RII, (c) Standar Kompetensi
Guru Pemula (Standar Kompetensi Lulusan LPTK), Pedoman Sertifikasi Kompetensi,
dan lain sebagainya.
Terlepas dari kenyataan bahwa
beragamnya pemahaman tentang
dimensi kompetensi profesional guru,
serta adanya kontroversi berkaitan dengan wacana program sertifikasi dan resertifikasi
kompetensi guru di Indonesia, perlu kiranya disepakati bahwa segala wacana
reformasi yang mengarah pada perbaikan kualitas profesionalitas guru perlu
didukung dengan penuh. Untuk itu, LPTK sebagai lembaga “pencetak“ guru harus
memandang wacana ini sebagai tantangan untuk
bergegas menjemput bola perubahan itu, misalnya dengan melakukan
konsulidasi dan penataan manajemen peningkatan mutu dan relevansi terhadap
semua program pendidikan guru yang dimilikinya, dari tingkat jurusan sampai
dengan tingkat lembaga yang melibatkan semua unit dan staf pimpinan dengan satu
tujuan, yaitu membangun LPTK yang dapat menghasilkan tenaga kependidikan yang
mampu menghadapi dan memenangkan
persaingan yang semakin ketat di masa datang, terutama persaingan yang
berkaitan dengan program sertifikasi kompetensi keguruan. LPTK perlu bergegas
untuk menyusun profil standar kompetensi lulusannya, yang bersifat dinamik, sebagai pedoman bersama dalam mengembangkan
segala aktivitas instruksional yang mengacu pada peningkatan daya saing
lulusannya. Adanya pemahaman bersama
tentang standar kompetensi lulusan guru akan memberikan manfaat dalam (1) pengembangan kurikulum
program studi/jurusan, (2) penyediaan sarana dan prasarana pendukung
perkuliahan, dan (3) pemberian izasah atau sertifikat kompetensi.
3. Penutup
Hal itu disepakati, bahwa
reformasi pendidikan harus menyentuh reformasi pendidikan guru, karena guru
memegang peran sentral dalam seluruh rangkaian pendidikan. Dapat pula dipahami
bahwa reformasi pendidikan guru harus tertuju pada usaha untuk meningkatkan
profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Namun, pemahaman
tentang profesionalisme guru dan indikatornya sangat beragam. Wacana tentang
program sertifikasi dan resertifikasi kompetensi guru dalam rangka meningkatkan
profesionalitas kinerja guru, masih kontroversial. Apalagi jika wacana tersebut
dihadapkan dengan masalah-masalah realitas yang dihadapi guru-guru di
Indonesia, seperti masalah kekurangan guru, tidak meratanya penyebaran guru,
kurangnya sarana pendukung aktivitas guru di kelas, serta rendahnya penghargaan
dan gaji guru, dan sebagainya.
Walaupun demikian, sikap
positif tetap perlu dikembangkan untuk
mendukung setiap usaha peningkatan profesionalisme guru. LPTK sebagai pendidik
guru, misalnya dapat meletakkan dasar awal, dengan selalu memacu
inovasi-inovasi yang mengarah kepada peningkatan kompetensi calon-calon guru,
misalnya dengan (1) mengembangkan silabus perkuliahan
yang memberikan bobot berimbang antara teori dan praktik, yang berorintasi pada
pencapaian standar kompetensi guru yang
berkualitas; (2) merumuskan indikator-indikator
secara jelas dan terukur yang mencerminkan pencapaian standar kompetensi
lulusan calon guru tersebut; (3) mengembangkan sistem asesmen dan evaluasi
yang sistematik untuk mengukur pencapaian kompetensi yaitu pencapaian standar
kompetensi lulusan calon guru; (4) memperkenalkan mahasiswa calon guru secara
dini dan berkelanjutan terhadap dinamika kehidupan peserta didik dan budaya
sekolah; (5) memanfaatkan hasil-hasil penelitian, dan
kajian konseptual inovatif untuk meningkatkan kualitas perkuliahan, dengan
mencermati atau mengadopsi berbagai isu inovasi pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknolgi, misalnya mengembangkan model-model perkuliahan inovatif yang
berbasis aktvitas mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2002. Pola Kebijakan Sistem Pendidikan
Tenaga Kependidikan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Jakarta: P2TK Ditjen
Dikti.
Depdiknas. 2004. Draft Naskah Akademik Sertifikasi Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.
Depdiknas.2004. Draf Standar Kompetensi
Lulusan PGSMP/SMA. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti.
Depdiknas.2004. Standarisasi Kompetensi Guru. Tersedia online pada: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm.
Depdiknas.2004.
Pengembangan Profesi Guru SMK. Tersedia online pada http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm.
Depdiknas.2004.
Peningkatan Kemampuan
Profesional dan Kesejahteraan Guru. Tersedia
online pada di http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/
SENTRA1/F31.html.
Depdiknas.2004. Pengendalian Tenaga Kependidikan. Tersedia
online pada: http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/index-tendik.htm.
DIKTI, (2003). Higher Education
Long Term Strategy.
Marsh.Collin, 1996. Handbook
for Beginning Teachers. Sydney: Longman
Mendiknas,
1998. Keputusan Meneri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor
013/U/1998, Tentang Program Pembentukan Kemampuan Mengajar.
0 komentar:
Post a Comment