Tidak
ada manusia yang bisa lepas dari kebutuhan pokoknya sebagai keniscayaan proses
kontiunitas kehidupannya. Manusia setiap hari selalu dihadapkan pada tantangan
untuk mengembangkan diri dalam menacapai kehidupan yang sejahtera. Dalam
memenuhi kebutuhan hidupanya semua manusia dituntut untuk bekerja (berproduksi).
Diera globalisasi dan modern dewasa ini, manusia dituntut untuk memilikli skill
dan kemampuan (capital social) untuk mengoprasikan alat produksi yang
telah disediakan dan dikuasai semua oleh kapitalisme. Satu-satunya ruang formal
yang diberikan bagi kita untuk mendapatkan skill adalah lembaga pendidikan.
Namun apakah sesederhana itu fungsi dari pendidikan kita saat ini?
Secara
harfiah, pendidikan berasal dari kata didik, yang berarti memelihara dan
memberi latihan. Pendidikan kemudian biasa didefinisikan sebagai proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik; (Kamus Besar Bahasa Indonesia). pendidikan adalah sebuah
proses dialektika manusia untuk mengembangkan kemampuan akal pikirnya,
menerapkan ilmu pengetahuan dalam menjawab problem-problem sosial, serta
mencari hipotesa-hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia
dan zaman. Pendidikan merupakan media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan
bangsa, sekaligus instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga intelektual dan
praktisi sebagai penopang bagi perkembangan hidup masyarakat.
Pada
setiap zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai serta
hubungan-hubungan yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Pendidikan sebagai satu
instrumen kebudayaan negara (supra struktur), adalah cerminan dari sebuah
hubungan produksi dalam setiap masyarakat. Sedangkan dalam pandangan kita
tentang negara bahwa negara adalah alat dari klas berkuasa yang akan terus
berkontradiksi dengan klas yang dikuasai. Sehingga pendidikan akan menjadi alat
dari klas yang berkuasa untuk menanamkan ide klasnya sekaligus menjadi alat bagi
klas berkuasa tersebut untuk menghisap klas yang dikuasai.
Perkembangan
pendidikan dinusantara ini tidak bisa dilepaskan dari fase-fase perkembangan
masyarakat nusantara. Karena dengan mempelajari sejarah dari perkembangan
masyarakat yang ada dinusantara ini kita akan menemukan pisau analisa yang
jelas terhadap problematika pendidikan yang terjadi saat ini.
Dalam
kajian teori pendidikan kritis meyakini bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari
kepentingan ekonomi dan politik. Walapun ada beberapa kalangan yang tidak
sepakat dengan mazhab ini akan tetapi ketika kita mengakaji sejarang
perkembangan pendidiakan dinusantara ini, maka kita akan menemukan keilmiahan
dari teori pendidikan kritis.
Pendidikan;
dari Feodalime Hingga Kolonialisme di Nusantara
Pada
zaman feudalisme Yang tandai dengan kepemilikan atas tanah oleh segilitir orang
kemudian malahirkan istilah petani hamba bagi yang tidak memiliki tanah dan
tuan tanah bagi yang punya tanah dengan menggukan kerajaan sebagai lembaga
tertinggi mereka. Dalam mempertahankan kedudukannya sebagian tuan tanah, mereka
kemudian menggunakan kekuatan gereja untuk kemudian mengamini adanya kekuasaan
kaum feudal btersebut, dengan jargon “raja adalah utusan Tuhan di muka bumi”.
Sehingga melawan raja, sama saja dengan melawan Tuhan. Hingga itu, seluruh
rakyat harus tunduk kepada kekuasaan raja.
Pada
masa feodalisme ini, pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan bangasawaan
(keluarga besar kerajaan), masyarakat kalangan bawah tidak bisa mengaksesnya
dikarenakan mereka bukanlah bagian dari keluarga bangasawaan dan mereka juga
tidak memilki banyak waktu untuk belajar selayaknya pemuda dari kalangan
bangsawan karena mereka setiap harinya harus selalu disibukkan dengan kegiatan
produksi untuk memenuhi kepentingan taunnya. Masa ini dikenal juga masa
kegelapan (dark age), karena ilmu pengetahuan tidak dibiarkan berkembang.
Justru dogma-dogma agama yang melegitimasi kekuasaan raja yang dipertahankan.
Salah satunya adalah ketika Gallileo Gallilei menyatakan bumi itu bulat, tetapi
kaum gereja menolaknya. Akibatnya, Gallileo Gallilei dihukum mati. Pihak gereja
vatikan baru mengakui kesalahan tersebut pada abad 20.
Memasuki
abad ke 15 nusantara kedatangan bangsa-bangas asing (protugis). Kedatangan
mereka tidak bisa dilepaskan dari perkembangan merkantaisme yang dieropa saat
itu. Markentilisme inilah yang kemudian melahirkan benih-benih kolonialisme.
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada
awal abad 15, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari
jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di
Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de
Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara
langsung dengan bangsa Indonesia.
Masuknya
bangsa eropa ke Indonesia yang kemudian mendominasi secara ekonomi dan politik
di Nusantara kemudian merubah pola pendidikan di dalam bangsa Indonesia.
Pendidikan di nusantara pada saat itu pun sangat di tentukan oleh pertimbangan
ekonomi dan politik Belanda di Indonesia. Pendidikan dibuat berjenjang, tidak
berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih
diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat
dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk
menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana
pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus
habis karena berbagai masalah peperangan. Pendidikan kemudian menjadi barang
yang sangat mewah bagi bangsa terjajah. Hanya anak-anak bangsawan pribumi yang
bisa mendapatkan pendidikan yang disediakan pemerintah Hindia Belanda. Memang
pada saat itu sudah ada pendidikan yang dibuat rakyat Indonesia, namun hanya
mengkaji agama.
Kurang
lebih 360 tahun nusantara dijajah oleh kolonialisme belanda. Alasan utama
kenapa balanda bisa sampai tiga setengah abad menajajah nusantara, tidak lain
adalah tidak adanya akases untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakat pribumi
secara mayoritas sehingga kesadaran masyarakat pada masa itu sangat terbelakang
dan mudah dibodohi. Sebelum meletusnya perang dunia II belanda kemuadian
dipukul mundur oleh kekuatan fasisme jepang sehingga keperintahan kelonilisme
belanda dinusantara diambil alih oleh pasukan jepang. Lagi-lagi indonesia
terjajah oleh bangsa lain. kedatangnya Jepang ke Indonesia membawa ide
kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin
menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan
kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang . Sistem penggolongan
dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan
perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko
Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran
bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran,
dan indoktrinasi yang ketat mengikuti kepentingan perang Jepang dalam perang
Dunia II.
Pendidikan;
Fase Kemerdekaan Hingga Orde Baru di Nusantara
Pada
tahun 1945 tanggal 17 agustus, nusantara mendeklarasikan kemerdekaannya menjadi
negara yang merdeka dan berdaulat. Pendidikan menjadi perhatian utama bagi
negeri yang baru merdeka itu untuk membangun dirinya menjadi negeri yang kuat.
Sekilas memang program-program pemerintahan Soekarno banyak bersifat anti
imperialis, namun pada dasarnya rejim ini adalah rejim bimbang yang melakukan
nasionalisasi asset asing tidak secara tuntas. Begitu pun kepemilikan lahan
masih dipegang oleh kaum tuan tanah, sehingga walaupun pendidikan pada saat itu
memang diorientasikan untuk mendukung politik anti Nekolimnya Soekarno, namun
pada kenyataannya secara akses, banyak rakyat Indonesia yang tidak mampu
mengenyam pendidikan secara layak
Setelah
lengsernya pemerintahan rezim soekarno, nusantara kemudian memasuki suasana
perintahan yang otoriter dan diktator yakni rezimnya Suharto atau lebih akrab
disebut dengan rezim orde baru. Pada masa rezim ini arus modal asing untuk
mengeksploitasi kekayaan nuasantara terus menagalir. Kekayaan alam yang
dimiliki indonesia memang menjadi rangasangan menggairahkan bagi para investor
untuk menanamkan modalnya. Industri-industri yang nota bene modalnya
dari korporate besar luar negri, mulai mejalar diamana-mana. Sikap suharto yang
membuat peruasahaan asing bisa leluasa masuk kenusantara membuktikan bahwa
rezim suharto adalah rezim yang pro terhadap imprealisme
(kapitalisme monopoli). Pendidikan menjadi alat bagi Soeharto untuk memantapkan
dominasi imperialis di Indonesia. Pendidikan menjadi alat pemenuhan kebutuhan
tenaga kerja murah sekaligus komoditi bagi eksploitasi perusahaan-perusahaan
imperialis di Indonesia. Melalui kurikulum yang anti rakyat, pemerintahan ini
menanamkan nilai-nilai pro imperialis serta nilai anti demokrasi
dalam peserta didik yang mencerminkan karakter pemerintahannya. Untuk pemenuhan
tenaga kerja murah, dibukalah sekolah-sekolah kejuruan yang secara nilai
keilmuan hanya menjadikan peserta didik hanya memiliki skill rendah. Kerjasama
dengan perusahaan asing serta perusahaan borjuasi komprador dibuka dengan kedok
menyerap tenaga kerja dari lembaga pendidikan yang bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan tersebut. Namun pada kenyataannya hanyalah alat bagi
perusahaan untuk mendapatkan buruh murah. Kerjasama ini kemudian di bakukan
dengan konsep Link and Match.
Pendidikan;
Fase Reformasi Menuju BHP
Lengsernya
suharato pada tanggal 21 Mei tahun 1998 dari tampuk kekuasaan kursi
kepresidenan yang dia pimpin selama 32 tahun. Pada waktu itu pula kekuatan
rezim orde baru mulai memudar. Diberabagai penjuru kota dinegri ini dipenuhi
oleh aksi massa sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap pemerintahan
rezim suharto. Ribuan mahasiswa mengahbiskan waktunya turun kejalan, bahkan
diantara mereka harus merekan teman seperjauangannya yang ditembak oleh aparat
negara (baca: Reformasi). Akan tetapi semangat untuk menentangan
kekuasaan rezim orade baru terus berkobar hingga seharto menyatakan mundur dari
jabatan sebagi presiden.
Runtunya
kekuasaan orde baru membawa indonesia memasuki era reformasi. Di era reformasi
ini iklim politik dalam negri mulai bersentuhan dengan nilai-nilai demokaratis,
rakayat sudah secara langsung memilih pemimpinya, pembanguan perlahan membuka
konsep button up tidak lagi top down. Akan tetapi diantara
perkembangan yang telah dicapai oleh reformasi terselip kebobrokan politik
pemeritntah yakni; semakin meningkatanya investor-investor asing menanamkan
modalnya dinusantara dan semakin menumpuknya hutang indonesia ke IMF dan world
Bank, sehingga kekuatan inetervensi kapitalisme gelobal tarhadap indonesia
semakin massif dan tidak ada satupun pemimpin negri ini yang mampu menolaknya
semuanya mengamini apa yang diinginkan kapitalisme global.
Kekuatan
intervensi asing terhadap indonesia dan keberpihakan pemerintah terhadap
kapiatlisme mengatarakan indonesia pada juarang hilangannya kedaulatan
indonesia sebagai negara. Kedaulatan indonesia suadah diambil alih oleh
kekuatan pasar (neoliberalisme). Eksistenti negara benar-benar seperi yang telah
dikatakan Karl Mark bahwa negara adalah alat kepentingan kelas, karena
negara sekarang dipegang oleh kekuatan kelas atas (borjuasi) maka setiap
kebijakannya meraka keluarkan pasti akan berpihak pada kaum pemodal dan akan
berkiblat pada perkembangan dan kepentingan kapitalisme global sementara rakyat
hidup dalam ketertindasan.
Dari
perkembagan kapitalime global inilah, menjadi dasar kita untuk menagnilisis
sistem pendidiak dinusantara saat ini. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter
of Intent/LoI) dari dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1999, terdapat
kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi subsidi untuk pendidikan
dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan
kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia
Melalui
Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana
utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher
Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005
dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan
tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari
program inilah lahir sebuah UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan
terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya.
Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Diera
reformasi ini, arah pendidikan tidak hanya beroriantasi pada penyediaan tenaga
produksinya kapitalisme melainkan pendidikan menjadi ladang jasa yang bisa
mendatangkan keuntugan para pemodal. Logika perusahaan (korporate) dipaksakan
pada dunia pendidikan. Sehingga Pendidikan menjadi barang dagangan yang sangat
melangit harganya sebagimana harga yang berkembang dipasar global, pendidikan
menjadi barang elit dan hanya bisa diakses oleh orang-orang yang elit.
Semantara kalangan masyarakat miskin pendidikan menjadi sesuatu susah untuk
dinikmati. Dari mahalnya biaya pendidikan tersebut membuat maysarakat ditahun 2008
angka putus sekolah dasar menacapi 814.000 dan angka putus sekolah SMP mecapai
211.643 siwa.
Ketika
pendidikan sudah masuk pada ranah komersil dan pendidikan dijadikan komodoti
jasa untuk diperjual-belikan maka, sudah barang tentui yang dibicarakan oleh
dunia pendidikan seperti itu bukan lagi meningkatkan mutu dan kualitas
pendidikan tersebut, tetapi yang dibicarakan adalah untung dan rugi sebagaimana
logika yang ada dalam pasar modal dan perusahaan. Secara hukum Pemerintah
ketika kita melihat fenomena dunia pendidikan saat ini sudah melanggar
pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan kehidupan
berbangsa hanya untuk orang yang memilki uang banyak dan hal ini sangat
melanggar dan bertentangan dengan amanat UUD 1945 pasal 31. Karena kita
ketahui bahwa, jangankan untuk membayar uang pendidikan untuk makan saja
masyarakat sangat susah.
UU
BHP tidak lain adalah alat legitimasi kekuatan untuk melegitimasi
komersialisasi dunia pendidikan sebagai amanat dari Kesepakatan Bersama Tentang
Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS)
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dimana
pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan).
Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor
pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kemudian kesepakatan
tesebut diperkuat lagi dengan PP 60 dan 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus
dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional serta UU No.02 tahun
2009.
Bagaimanapun
juga, kita akan selalu sepakat pendidikan adalah sesuatu yang terpenting untuk
meciptakan dan mengembangkan bangsa yang produktif dan mandiri. Akan tetapi
pertanyaan adalah benarkah pendidikan saat ini adalah pendidikan yang natinya
mampu meciptakan peserta didik yang benar-benar mampu mengeluarkan bangsa ini
dari keterprukan sosial? atau jangan-jangan pendidikan hari ini adalah tempat
jasa yang bisa diperjual belikan dan atau hanya sekedar tempat menciptakan
pekerja (buruh) yang siap dibayar murah untuk kelangsungan produksi dalam
mengeksploitasi kekayaan bangsa ini oleh kapitalisme monopoli (imprealisme)?.
Sejatinya
pendidikan harus dikembalikan pada pokok persoalan rakyat agar out put dari
pendidikan tersebut mampu menjawab persoalan pokok yang diahadapi rakyat
saat ini. pendidikan harus bersifat demokratis dalam artian rakyat dinusantara
bisa mengakses pendidikan tersebut tanpa memandang bulu dan latar belakang
ekonomi. dan sudah saatnya paradigma pendidikan dinegri ini memangkas paradigma
yang diskriminatif. Agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang cerdas dan memliki
skill serta olah pikir yang maju untu menuju bangsa yang lebih maju. ketika
pencapaian terhadap kecerdasan menjadi sesuatu yang sulit diakses maka
kebodohan akan menumpuk, dan apabila kebodohan terus berkembang maka akan
timbul tindakan-tindakan yang besifat anomaly, tindakan social yang irasonal
dan amoral sebagaiman hukum kausalitas.
Dengan
di sahkanya UU BHP semakin kompleksitasnya persoalan pendidikan dinegri ini dan
menjadi fakta sejarah yang buruk bagi kaum muda usia pendidikan untuk
selanjutnya. Sejarah pendidikan dari awal masyarakat yang feodalistik hingga
reformasi tidak lain adalah sejarah pendidikan yang jelas-jelas mengatakan
bahwa hanya diperuntukkan bagi kelanggengan kekuasaan para pengauasa.
Pendidikan hanya sebatas wadah untuk mempercepat penghisapan dan pemasungan
demokrasi rakyat oleh feodalisme dan kapitalisme global. Kekuatan belenggu
kapitalisme global mengantarkan pendidikan menjauh dari nilai-nilai humanistik.
Pendidikan tidak lagi menjadi wadah untuk pemberdayaan masyarakat menuju
masyarakat partisipatif dan komunikatif agar mampu menyelesaikan persoalan
pokonya. Melaikan hanyalah wadah yang hanya menciptakan sumberdaya manusia yang
siap menagbdikan diri terhadap pemegang kekuasaan dunia, baik secra politik
maupun secara ekonomi.